KEMANDIRIAN PERADILAN AGAMA DALAM KONTEKS PASAL 49 AYAT (1) DAN PASAL 50 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA JO PASAL 49 DAN PASAL 50 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
Abstract
Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
sebuah Mahlamah Agung dan badan Peradilan Umum, Pemdilan Agama, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
perkara-perkara bagi pencari keadilan yang beragama Islam. Putusan Pengadilan
Agama merupakan produk dari proses penyelesaian perkara di lembaga peradilan
yang pelaksanaannya melibatkan hakim sebagai perangkat peradilan yang memiliki
otoritas dalam menentukan putusan terhadap perkara yang ditanganinya.
Kajian penelitian ini mengungkap tentang Kemandirian Peradilan Agama
dalam Konteks Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal49 dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Perrnasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah
Peradilan Agama telah mandiri dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, apakah sengketa milik atau
sengketa lain sebagairnana yang dimaksud Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal50 ayat (1) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama berpengaruh terhadap asas peradilan cepat, mudah, biaya
murah, dan terjadi sengaketa kewenangan antam Peradilan Agama dan Peradilan
Umum.
Persoalan isu hukum yang menarik untuk diteliti anatara lain adalah
tentang Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan
Agama jo Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawianan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shodakoh, dan ekonomi syari'ah.
Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas' Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
huruf (b):
Yang dimaksud "waris" adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masingmasing
ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan pembagian masingmasing
ahli waris.
Maka terjadi pilihan hukum apabila tidak semua ahli waris beragama
Islam atau beda agarna, karena Pasal 173 Kompilasi Hukum beda agarna tidak
mengahalangi seseorang untuk menjadi ahli waris, Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam ha1 terjadi mengenai sengketa hak
milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud
Pasal 49, maka khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut hams
diputus lebih dahulu oleh Pengadilan Lingkungan Peradilan Umum.
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun disertasi ini adalah
normatif, yaitu dengan mengambil sumber data kepustakaan dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier, analisis, yaitu untuk menganalisa data-data yang telah
terkumpul diskriptif, jenis diskriptif ini ditentukan berdasar alasan: pertama,
penelitian ini dimulai dengan menggunakan pendekatan historis, artinya, meneliti
masalah yang hendak dianalisis dari fakta sejarah yang ada, terhadap
perkembangan kelembagaan Peradilan Agama dan Hukum Islam sebagai hukum
materiilnya, baik yang terjadi dalam kurun waktu perkernbangan kelembagaan
Peradilan Agama maupun kenyataan yang ada sekarang yang disajikan secara
diskriptif; kedua, menggunakan pendekatan filosofis, artinya mendekati masalah
yang hendak dianalisis dari segi filosofisnya, yaitu bagaimana Rasulullah
memutuskan masalah; ketiga, menggunakan pendekatan sosiologis, artinya
mendekati rnasalah yang dianalisis dari segi sosiologi; keempat, menggunakan
pendekatan yuridis, artinya mendekati masalah yang hendak dianalisis dari segi
yuridisnya terhadap produk hukum yang menjadi kewengan Peradilan Agama.
Penelitian ini berhasil menjawab masalah-masalah penelitian, dan
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pilihan hukum atas dasar ketentuan Pasal49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan penjelasan huruf b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bisa te rjadi apabila semua ahli
waris tidak beragama Islam.
2. Adanya ketentuan mengenai sengketa hak milik dan keperdataan lain
berpengaruh besar tehadap efektivitas peradilan, karena akan timbul kekacauan
acara, proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, dan biaya yang tinggi.
Dalam menyelesaikan perkara tidak mandiri, karena hams menunggu
penyelesaian sengketa milik yang hams diselesaikan dahulu di Pengadilan
Negeri sesuai Pasal50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradian
Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
3. Dalam pandangan asas-asas dan doktrin hukum yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan, ketentuan mengenai sengketa hak milik atau
keperdataan lain Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama, tidak ada sinkronisasi vertikal horisontal maupun internal
dengan undang-undang yang ada. Demikian halnya dengan ketentuan mengenai
sengketa milik dan keperdataan lain, tidak sejalan dengan asas-asas pokok
peradilan cepat, ringan, biaya murah, dan menimbulkan kesulitan dan
kesengsaraan mesyarakat pencari keadilan.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut di atas, dapat disirnpulkan bahwa
pengembangan eksistensi Peradilan Agama oleh teori "Tiga Pilar", artinya tiga
kemandirian sebagai soko guru kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi
peradilan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: pertama,
Kemandirian Badan Peradilan Agama yang terorganisasi berdasar kekuatan
Undang-Undang; kedua, Kemandirian Organ Pelaksana; ketiga, Kemandirian
Sarana Hukum sebagai rujukan.
Adapun langkah-langkah implementasinya perlu digunakan langkahlangkah
dan teori sebagai berikut:
1. Mengadakan sosialisasi, menjadikan masyarakat sadar hukum dan dalam arti
memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agarna. Kompilasi Hukum Islam dan segala peraturan yang
berhubungan dengan Peradilan Agama.
2. Membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga masyarakat, sehingga
setiap warga masyarakat taat kepada hukum dan secara sukarela tanpa paksaan
atau dorongan dari siapa pun melaksanakan hak dan kewajibamya
sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam serta perundang-undangan laimya yang
terkait .
3. Menggunakan teori kerulcunan dan musyawarah, sesuai prinsip-prinsip Negara
Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Pancasila.
4. Selain teori Kerukunan dan Musyawarah, juga teori Al-Maslahah. Dengan
menggunakan teori Al-Maslahuh semua aspek kemasyarakatan yang belum
diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah rasul dapat ditata sendiri oleh manusia atau
prinsip-prinsip dasar bersifat umum dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul dapat
dirinci lebih lanjut gum menentukan bentuk aplikasinya dalam kehidupan
masyarakat dan Negara sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam
(Syari'ah).
Collections
- Doctor of Law [109]
Related items
Showing items related by title, author, creator and subject.
-
PERBANDINGAN PENGATURAN PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG-UNDANG
Khoulud beby bestiani, 14410219 (Universitas Islam Indonesia, 2018-04-19)UU No.17 tahun 2013 tentang Ormas dalam perkembanganya sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan hukum yang ada sehingga Pemerintah mengeluarkan Perppu No.2 tahun 2017 tentang Ormas yang telah disahkan menjadi UU ... -
KONFIGURASI POLITIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PROSES PERSETUJUAN PERATURAN PEMERITAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG (Studi Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat)
YUKALYPTA RIDWAN, 11410095 (Universitas Islam Indonesia, 2018-09-06)Studi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk konfigurasi partai politik yang terjadi dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun ... -
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU/XIII/2015 MENGENAI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG (DALAM STUDI PERSPEKTIF ETIKA DAN KEPASTIAN HUKUM)
GARNIS LEILA PUSPITA, 1410235 (Universitas Islam Indonesia, 2018-12-13)Studi ini bertujuan untuk mengetahui alasan diajukannya permohonan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 serta Konstruksi hukum Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan MK No 42/PUU/XIII/2015 dilihat ...