Show simple item record

dc.contributor.authorSUMADI MATRAIS, 01932004
dc.date.accessioned2018-07-24T10:40:38Z
dc.date.available2018-07-24T10:40:38Z
dc.date.issued2006
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9427
dc.description.abstractKekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahlamah Agung dan badan Peradilan Umum, Pemdilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan perkara-perkara bagi pencari keadilan yang beragama Islam. Putusan Pengadilan Agama merupakan produk dari proses penyelesaian perkara di lembaga peradilan yang pelaksanaannya melibatkan hakim sebagai perangkat peradilan yang memiliki otoritas dalam menentukan putusan terhadap perkara yang ditanganinya. Kajian penelitian ini mengungkap tentang Kemandirian Peradilan Agama dalam Konteks Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal49 dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perrnasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah Peradilan Agama telah mandiri dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, apakah sengketa milik atau sengketa lain sebagairnana yang dimaksud Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berpengaruh terhadap asas peradilan cepat, mudah, biaya murah, dan terjadi sengaketa kewenangan antam Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Persoalan isu hukum yang menarik untuk diteliti anatara lain adalah tentang Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawianan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodakoh, dan ekonomi syari'ah. Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas' Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, huruf (b): Yang dimaksud "waris" adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan pembagian masingmasing ahli waris. Maka terjadi pilihan hukum apabila tidak semua ahli waris beragama Islam atau beda agarna, karena Pasal 173 Kompilasi Hukum beda agarna tidak mengahalangi seseorang untuk menjadi ahli waris, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam ha1 terjadi mengenai sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud Pasal 49, maka khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut hams diputus lebih dahulu oleh Pengadilan Lingkungan Peradilan Umum. Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun disertasi ini adalah normatif, yaitu dengan mengambil sumber data kepustakaan dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, analisis, yaitu untuk menganalisa data-data yang telah terkumpul diskriptif, jenis diskriptif ini ditentukan berdasar alasan: pertama, penelitian ini dimulai dengan menggunakan pendekatan historis, artinya, meneliti masalah yang hendak dianalisis dari fakta sejarah yang ada, terhadap perkembangan kelembagaan Peradilan Agama dan Hukum Islam sebagai hukum materiilnya, baik yang terjadi dalam kurun waktu perkernbangan kelembagaan Peradilan Agama maupun kenyataan yang ada sekarang yang disajikan secara diskriptif; kedua, menggunakan pendekatan filosofis, artinya mendekati masalah yang hendak dianalisis dari segi filosofisnya, yaitu bagaimana Rasulullah memutuskan masalah; ketiga, menggunakan pendekatan sosiologis, artinya mendekati rnasalah yang dianalisis dari segi sosiologi; keempat, menggunakan pendekatan yuridis, artinya mendekati masalah yang hendak dianalisis dari segi yuridisnya terhadap produk hukum yang menjadi kewengan Peradilan Agama. Penelitian ini berhasil menjawab masalah-masalah penelitian, dan menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pilihan hukum atas dasar ketentuan Pasal49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan penjelasan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bisa te rjadi apabila semua ahli waris tidak beragama Islam. 2. Adanya ketentuan mengenai sengketa hak milik dan keperdataan lain berpengaruh besar tehadap efektivitas peradilan, karena akan timbul kekacauan acara, proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, dan biaya yang tinggi. Dalam menyelesaikan perkara tidak mandiri, karena hams menunggu penyelesaian sengketa milik yang hams diselesaikan dahulu di Pengadilan Negeri sesuai Pasal50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradian Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 3. Dalam pandangan asas-asas dan doktrin hukum yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, ketentuan mengenai sengketa hak milik atau keperdataan lain Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama, tidak ada sinkronisasi vertikal horisontal maupun internal dengan undang-undang yang ada. Demikian halnya dengan ketentuan mengenai sengketa milik dan keperdataan lain, tidak sejalan dengan asas-asas pokok peradilan cepat, ringan, biaya murah, dan menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan mesyarakat pencari keadilan. Dari keseluruhan pembahasan tersebut di atas, dapat disirnpulkan bahwa pengembangan eksistensi Peradilan Agama oleh teori "Tiga Pilar", artinya tiga kemandirian sebagai soko guru kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: pertama, Kemandirian Badan Peradilan Agama yang terorganisasi berdasar kekuatan Undang-Undang; kedua, Kemandirian Organ Pelaksana; ketiga, Kemandirian Sarana Hukum sebagai rujukan. Adapun langkah-langkah implementasinya perlu digunakan langkahlangkah dan teori sebagai berikut: 1. Mengadakan sosialisasi, menjadikan masyarakat sadar hukum dan dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Kompilasi Hukum Islam dan segala peraturan yang berhubungan dengan Peradilan Agama. 2. Membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga masyarakat, sehingga setiap warga masyarakat taat kepada hukum dan secara sukarela tanpa paksaan atau dorongan dari siapa pun melaksanakan hak dan kewajibamya sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam serta perundang-undangan laimya yang terkait . 3. Menggunakan teori kerulcunan dan musyawarah, sesuai prinsip-prinsip Negara Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Pancasila. 4. Selain teori Kerukunan dan Musyawarah, juga teori Al-Maslahah. Dengan menggunakan teori Al-Maslahuh semua aspek kemasyarakatan yang belum diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah rasul dapat ditata sendiri oleh manusia atau prinsip-prinsip dasar bersifat umum dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul dapat dirinci lebih lanjut gum menentukan bentuk aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dan Negara sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam (Syari'ah).en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titleKEMANDIRIAN PERADILAN AGAMA DALAM KONTEKS PASAL 49 AYAT (1) DAN PASAL 50 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA JO PASAL 49 DAN PASAL 50 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMAen_US
dc.typeDissertationen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record