KASUS KOMANDO JIHAD DITINJAU DARI PERSPEKTIF INDEPENDENSI DAN TRANSPARANSI KEKUASAAN KEHAKIMAN
Abstract
Kekuasaan kehakiman sebagai rangkaian sistem penegakan hukum dan
keadilan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan penvujudan dari
prinsip the rule of law atau negara hukum sebagaimana dijamin dalam konstitusi
negara. Konsekuensi negara hukum maka semua agenda negara dan bangsa tunduk
pada undang-undang dan peratwan.
The rule of law menekankan institusi kekuasaan kehakiman hams bersifat
independen, yang dalam praktik keberfbngsiannya tidak boleh dicampuri oleh
kekuasaan apapun di luar kekuasaan kehakiman itu sendiri. Bahkan, hakim sebagai
unsur utama dan terpenting dalam kekuasaan kehakiman diberi wewenang untuk
menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya tanpa boleh
diintervensi oleh hakim maupun institusi peradilan di atasnya. Sesuai esensi
fungsinya, kekuasaan kehakiman merupakan pemangku kewenangan dan kewajiban
untuk menampakkan dan menegaskan sifat samarlabstrak dari dan di dalam hukurn
yakni "melindungi". Manusia, sesuai fitrahlotentisitasnya, .memiliki hak untuk
memperoleh perlindungan hukum ketika hak-hak asasi (HAM) dan hak-hak
hukumnya terganggu oleh pihak lain. Tugas memberikan perlindungan hukum inilah
yang menjadi bagian kewajiban institusi kekuasaan kehakiman.
Dalam era pemerintahan Orde Baru yang berlangsung semenjak tahun 1966
hingga tahun 1998, praktik kekuasaan kehakiman (praktik peradilan) tidak berjalan
secara independen dan transparan. Hal ini disebabkan karena praktik kekuasaan
otoriter dan anti demokrasi yang dijalankan oleh kekuasaan Orde Baru. Semua
kekuatan sosial politik bahkan termasuk institusi peradilan (kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman) berada dalam kontrol dan kendali penguasa.
Institusi peradilan menjadi alat penguasa sehingga mengakibatkan sejumlah
warga Negara mengalami tindakan pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan
oleh aparat pemerintah. Seiring dominasi penguasa terjadi pelanggaran institusi
peradilan yang menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mampu berjalan secara
independen dan transparan.
Di antara yang mengalami tindakan pelanggaran hukum dan HAM itu adalah
sejumlah besar kalangan muslim di berbagai propinsi. Sejumlah muballigh Guru
da'wah), guru pengajian (ustadz) dan aktivis gerakan Islam Muhammadiyah dan
Nahdlatul 'Ulama (NU) mengalami penangkapan, penahanan, interogasi dan
penyiksaan. Di antaranya diproses di pengadilan. Alasan dan dakwaan yang
dituduhkan oleh aparat penegak hukum adalah keterlibatannya dalam aktivitas
gerakan "Komando Jihad".
Hasil penelitian menegaskan terdapatnya unsur rekayasa politik terhadap kasus
perkara Komando Jihad ditandai operasi intelijen melalui Operasi Khusus. Selain itu
nampak jelas terlihat penyalahgunaan aparat militer yang bernaung di bawah
Komando Kearnanan dan Ketertiban di tingkat pusat, beserta Pelaksana Khusus
Daerah (Laksusda) di tingkat daerah. Seluruh proses peradilan menunjukkan bahwa
institusi peradilan berjalan di bawah kontrol politik dan kekuasaan pemerintah
sehingga berjalan tidak independen dan tidak transparan.
Penelitian ini menegaskan, bahwa rezim Orde Baru telah melakukan
penyalahgunaan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen
merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim. Muara dari proses peradilan kasus Komando Jihad ini adalah praktik kekuasaan
kehakiman yang tidak independen dan tidak transparan di bawah tekanan sebuah
rezim politik otoriter dan anti demokrasi. Indikasi itu terlihat dalam proses peradilan
dan putusan peradilan yang menyalahi peraturan dan ketentuan hukum sebagaimana
yang hams dijunjung tinggi oleh negara hukum.
Collections
- Doctor of Law [107]