PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP RUNTUHNYA JEMBATAN KUTAI KARTANEGARA
Abstract
Keberhasilan pembangunan di tingkat kabupaten/kota, merupakan cermin
keberhasilan pembangunan di tingkat propinsi. Keberhasilan pembangunan propinsi
menjadi agregat pembangunan secara nasional. Dengan kata lain, idikator utama
keberhasilan pembangunan secara nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan
pembangunan yang dilakukan secara lokal, yaitu di tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan jalan dan jembatan bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakat. Disamping itu pembangunan jembatan harus dapat mendorong kearah
terwujudnya keseimbangan antar daerah dalam tingkat pertumbuhannya dengan
mempertimbangkan satuan wilayah pemempertimbangkan satuan wilayah
pengengembangan dan orientasi geografis pemasaran sesuai dengan struktur
pengembangan wilayah tingkat nasional yang dituju.
Sektor prasarana jembatan merupakan salah satu urat nadi dalam pertumbuhan
ekonomi wilayah, sehingga ketepatan penyediaannya melalui besarnya investasi adalah
suatu hal yang sangat penting. Berkaitan dengan perkembangan ekonomi, investasi
jembatan memiliki pengaruh yang luas baik bagi pengguna jalan/jembatan maupun bagi
wilayah secara keseluruhan.
Jembatan kutai Kartanegara atau jembatan Mahakam II adalah jembatan yang
melintas di atas Sungai Mahakam dan merupakan jembatan gantung terpanjang di
Indonesia. Panjang jembatan secara keseluruhan mencapai 710 meter, dengan bentang
bebas, atau area yang tergantung tanpa penyangga mencapai 270 meter. Jembatan ini
merupakan sarana penghubung antara kota Tenggarong dengan kecamatan Tenggarong
seberang yang menuju ke Kota Samarinda. Akan tetapi jembatan Kutai Kartanegara
tersebut roboh pada tanggal 26 Nopember 2011 jam 16.30 WITA.
Pembangunan Jembatan Kutai Kartanegara dilaksanakan oleh kontraktor
pelaksana PT. Hutama Karya sekitar tahun 1995. Kemudian yang ditetapkan sebagai
pemenang lelang untuk kegiatan pemeliharaan Jembatan Kutai Kartanegara adalah PT.
Bukaka Tehnik Utama. Saling tuding terjadi akibat dari robohnya jembatan ini. Masingmasing
pihak terkait saling melemparkan tanggung jawabnya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pemilik jembatan
kurang memperhatikan pelaksanaan perawatan jembatan. Pihak kontraktor pembangunan
jembatan merasa hal itu bukanlah sebagai tanggung jawabnya dikarenakan telah
melampaui masa jaminan konstruksi yaitu 10 tahun dari serah terima pekerjaan terakhir
(Final Hand Over/FHO). Pihak pelaksana perawatan juga menuding ketidakberesan
jembatan sudah terjadi sejak perencanaan dan pembangunan jembatan. Dilain pihak
kurangnya perhatian dari lembaga-lembaga dan asosiasi-asosiasi jasa konstruksi juga
perlu diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan atau kompetensi dari pelaksana
pekerjaan baik pembangunan maupun perawatan. Terkait juga dengan kompetensi sumber
daya manusia sebagai kunci dari semua proses.
Masing-masing pihak terkait seharusnya melaksanakan tanggung jawabnya dengan
baik sebagai konsekuensi dari kelalaian maupun kesalahan yang dilakukan. Akan tetapi
rupanya hal tersebut tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana mestinya.
Collections
- Master of Law [1446]