Studi Komparasi Pembalikan Beban Pembuktian Antara Uu Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Uu Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Abstract
Melihat korupsi serta pencucian uang (money laundering) di Indonesia terjadi secara sistematik
dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan
cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan penerapan sistem pembuktian
terbalik. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan pembalikan
beban pembuktian dalam UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
serta apa saja kelebihan dan kelemahan pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang
ini. Metode penelitian dalam skripsi ini normatif yaitu penelitian kepustakaan dimana penulis
mengumpulkan data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan, pendapat sarjana, dan peraturan
perundang-undangan yang menjadi acuan bagi penulis. Menggunakan Analisis data kualitatif.Kedua
Undang-undang ini baik UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ataupun UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang mengenai pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan. Pada
UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam
Pasal 12B, sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau tidak murni yaitu pembuktian terbalik
hanya dalam gratifikasi yang mana terterdakwa hanya membuktikan asal-usul kepemilikan hartanya
yang diduga dan didakwakan diperoleh dari hasil korupsi,dalam hal ini jaksa tetap harus
membuktikan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Sistem pembalikan beban
pembuktian pada UU No.8/2010 diatur dalam pasal 77 yaitu Untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil
tindak pidana, dalam hal ini menganut sistem pembalikan pembuktian murni yang mana terdakwa
mempunyai kewajiban untuk membuktikan asal-usul harta kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana dan jika terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul harta kekayaannya maka ini dapat
dijadikan sebagai bukti oleh penuntut umum atau menjadi pertimbangan hakim bahwa dakwaan sudah
terbukti dan terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan karena terdapat harta yang
dicurigai diperoleh dari tindak pidana. Kedua Undang-undang ini mempunyai kelebihan yang sama
yaitu Untuk mempermudah proses pembuktian sehingga tujuan negara dalam penegakan hukum
pidana serta pemberantasan kasus korupsi yang merupakan kejahatan extra extra ordinary crime
tercapai dan dapat mepermudah jaksa dalam pengembalian aset negara yang telah diambil oleh
terdakwa. Kelemahan sistem pembalikan beban pembuktian pada UU TIPIKOR hanya terbatas pada
delik tertentu saja yaitu mengenai gratifikasi. Maka untuk memberantas korupsi yang merajalela
dapat menggunakan sistem pembalikan pembuktian yang terdapat pada UU No.8/2010 tentang
pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dimana dapat digunakan untuk
seluruh delik yang diatur dalam UU ini.
Collections
- Law [2307]
Related items
Showing items related by title, author, creator and subject.
-
PERBANDINGAN PENGATURAN PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG-UNDANG
Khoulud beby bestiani, 14410219 (Universitas Islam Indonesia, 2018-04-19)UU No.17 tahun 2013 tentang Ormas dalam perkembanganya sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan hukum yang ada sehingga Pemerintah mengeluarkan Perppu No.2 tahun 2017 tentang Ormas yang telah disahkan menjadi UU ... -
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/XII-PU/2015 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PILKADA
GHAZI ANDIKA ALWI, 11410131 (Universitas Islam Indonesia, 2018-06-04)Jumanto dan Fathur Rosyid yang ingin mencalonkan diri mereka sebagai calon pemimpin kepala daerah di daerah mereka masing-masing tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon pemimpin kepala daerah mereka dikarenakan mereka ... -
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU/XIII/2015 MENGENAI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG (DALAM STUDI PERSPEKTIF ETIKA DAN KEPASTIAN HUKUM)
GARNIS LEILA PUSPITA, 1410235 (Universitas Islam Indonesia, 2018-12-13)Studi ini bertujuan untuk mengetahui alasan diajukannya permohonan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 serta Konstruksi hukum Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan MK No 42/PUU/XIII/2015 dilihat ...