dc.description.abstract | Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih sangat lamban, dengan laju pertumbuhan di bawah 5% per
tahun. Setelah mengalami laju pertumbuhan negative sebesar lebih dari 13% pada
tahun 1998, pada tahun-tahun selanjutnya perekenomian Indonesia mencoba bangkit
dan mengalami pertumbuhan positif. Masalahnya adalah laju pertumbuhan tersebut
belum bisa kembali normal seperti sebelum tahun 1997, dimana laju perekonomian
rata-rata mencapai 7% per tahun.
Kondisi perekonomian yang seperti ini tentunya dapat menurunkan daya beli
masyarakat Indonesia, pendapatan yang biasanya cukup bahkan lebih sebelum
terjadinya krisis moneter menjadi kurang setelah terjadinya krisis moneter.
Sedangkan harga-harga barang baik itu kebutuhan pokok maupun kebutuhan
sekunder melambung tinggi.
Hal tersebut tentunya membuat pelaku bisnis Indonesia harus memutar
otaknya untuk tetap survive di perekonomian yang tidak menentu, ini tentunya akan
meningkatkan persaingan antar perusahaan menjadi semakin ketat. Perusahaan
perusahaan harus mengganti kebijakan bisnisnya agar produk yang dihasilkannya
tetap bisa diterima oleh masyarakat luas.
Meningkatnya intensitas persaingan dan kemudahan masuknya teknologi
membuat setiap bisnis manufaktur, jasa atau sumber-sumber alam akan memiliki
masa depan yang suram apabila tidak dapat mengembangkan produknya dari fungsi
pokok (tingkat inti) nya dengan baik. Dalam kenyataan inovasi amat jarang terjadi,
ironisnya begitu suatu inovasi ditemukan akan dengan cepat ditiru olah pihak lain
Hal ini tentu menarik perhatian para pembajak untuk ikut bersaing di dunia
bisnis, dengan sarana teknologi yang tersedia bukanlah pekerjaan yang sulit bagi
pembajak untuk membajak suatu produk. Ditambah dengan berubahnya gaya hidup
masyarakat yang tentunya menimbulkan kebutuhan baru dan juga kurang
berfungsinya hukum di Indonesia pada saat itu dalam menanggulangi masalah
pembajakan. Ini tentunya menjadi sorga bagi pembajak untuk melancarkan aksinya
dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Berdasarkan latar belakang diatas serta melihat besarnya angka pembajakan di
Indonesia, maka penulis tertarik ingin melakukan penelitian untuk mengetahui
seberapa besar keinginan konsumen dalam membeli produk bajakan yang
dipengaruhi oleh Sikap Patuh Hukum, Sikap Konsumen terhadap Pembelian Produk
Bajakan serta Harapan performa Produk Bajakan itu sendiri. Karena mau tidak mau
tingginya angka pembajakan di Indonesia dapat disebabkan pula oleh kondisi
masyarakat yang masih cenderung untuk membeli produk bajakan. Dalam penelitian
ini, produk yang diteliti adalah CD Bajakan dengan sampel Mahasiswa UII
Yogyakarta. | en_US |