POLITIK HUKUM HUBUNGAN KEPALA DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG PEMERINTAHAN DESA PASCA REFORMASI
Abstract
Dikeluarkannya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari unsur “pemerintah
desa” berimplikasi pada tampilnya kepala desa sebagai “pemain tunggal” di
kancah pemerintahan desa. Hal ini justeru menjadi pertanyaan, mengapa BPD
tidak dikembalikan seperti masa-masa awal reformasi mengingat fungsinya akan
semakin strategis karena besarnya dana desa yang dikucurkan kepada desa
melalui payung hukum UU No.6 Tahun 2014 telah menyita perhatian besar
publik. Komisi Pemberantasan Korupksi (KPK) menyebutkan bahwa salah satu
yang menjadikan desa sebagai sebagai wilayah yang “seksi” adalah karena
rawannya desa ditunggangi kepentingan politis, mengingat desa relatif mudah
dijadikan kantung suara dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini didukung oleh fakta
bahwa 50,8% penduduk Indonesia hidup di desa. Fakta lain menyatakan bahwa
akuntabilitas pengelolaan keuangan di daerah masih rendah. Pada tataran inilah
harusnya BPD dimunculkan untuk mengimbangi kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. Penting kiranya kita mengetahui bagaimana
regulasi tentang hubungan antara kepala desa dan BPD pasca reformasi serta
bagaimana sebuah konfigurasi politik tertentu bisa berpengaruh kepada pola
hubungan antara keduanya. Pasca reformasi, berbagai konfigurasi setting regulasi
telah dibuat, mulai dari Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan pendekatan tiga teori,
yakni “pisau bedah” teori politik hukum, teori otonomi desa, serta teori
pemerintahan desa mengungkapkan bahwa berbagai setting regulasi tersebut tidak
terlepas dari berbagai konfigurasi politik yang melatar belakanginya, dan setiap
konfigurasi politik pasti akan berpengaruh pada “karakter produk hukum”.
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang lahir setahun setelah lengsernya Orde
Baru memperlihatkan “karakter”nya yang sangat kuat dengan membuang seluruh
anasir peninggalan orde sebelumnya, tidak terkecuali mengenai regulasi tentang
hubungan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Nuansa checks and
balances di tingkat desa yang berlebihan dikritik habis-habisan ketika Undang-
Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hadir. BPD dipreteli
karena dianggap menjadi kompetitor dan menghambat laju kinerja Kepala Desa.
Implikasi logisnya, BPD seperti “macan ompong” saat berhadap-hadapan dengan
Kepala Desa. Hal ini terus berlanjut sampai terbitnya Undang-Undang No.6
Tahun 2014 tentang Desa yang mengusung suasana yang lebih berimbang.
Undang-undang ini mengeluarkan BPD dari bagian Pemerintah Desa namun
fungsi kontrolnya kembali dipulihkan setelah “dipreteli” oleh Undang-Undang
No.32 Tahun 2004.
Collections
- Master of Law [1448]