Show simple item record

dc.contributor.authorACHMAD MUDATSIR R, 14912058
dc.date.accessioned2018-07-20T13:41:19Z
dc.date.available2018-07-20T13:41:19Z
dc.date.issued2017-10-21
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9011
dc.description.abstractDikeluarkannya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari unsur “pemerintah desa” berimplikasi pada tampilnya kepala desa sebagai “pemain tunggal” di kancah pemerintahan desa. Hal ini justeru menjadi pertanyaan, mengapa BPD tidak dikembalikan seperti masa-masa awal reformasi mengingat fungsinya akan semakin strategis karena besarnya dana desa yang dikucurkan kepada desa melalui payung hukum UU No.6 Tahun 2014 telah menyita perhatian besar publik. Komisi Pemberantasan Korupksi (KPK) menyebutkan bahwa salah satu yang menjadikan desa sebagai sebagai wilayah yang “seksi” adalah karena rawannya desa ditunggangi kepentingan politis, mengingat desa relatif mudah dijadikan kantung suara dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini didukung oleh fakta bahwa 50,8% penduduk Indonesia hidup di desa. Fakta lain menyatakan bahwa akuntabilitas pengelolaan keuangan di daerah masih rendah. Pada tataran inilah harusnya BPD dimunculkan untuk mengimbangi kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Penting kiranya kita mengetahui bagaimana regulasi tentang hubungan antara kepala desa dan BPD pasca reformasi serta bagaimana sebuah konfigurasi politik tertentu bisa berpengaruh kepada pola hubungan antara keduanya. Pasca reformasi, berbagai konfigurasi setting regulasi telah dibuat, mulai dari Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan pendekatan tiga teori, yakni “pisau bedah” teori politik hukum, teori otonomi desa, serta teori pemerintahan desa mengungkapkan bahwa berbagai setting regulasi tersebut tidak terlepas dari berbagai konfigurasi politik yang melatar belakanginya, dan setiap konfigurasi politik pasti akan berpengaruh pada “karakter produk hukum”. Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang lahir setahun setelah lengsernya Orde Baru memperlihatkan “karakter”nya yang sangat kuat dengan membuang seluruh anasir peninggalan orde sebelumnya, tidak terkecuali mengenai regulasi tentang hubungan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Nuansa checks and balances di tingkat desa yang berlebihan dikritik habis-habisan ketika Undang- Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hadir. BPD dipreteli karena dianggap menjadi kompetitor dan menghambat laju kinerja Kepala Desa. Implikasi logisnya, BPD seperti “macan ompong” saat berhadap-hadapan dengan Kepala Desa. Hal ini terus berlanjut sampai terbitnya Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengusung suasana yang lebih berimbang. Undang-undang ini mengeluarkan BPD dari bagian Pemerintah Desa namun fungsi kontrolnya kembali dipulihkan setelah “dipreteli” oleh Undang-Undang No.32 Tahun 2004.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titlePOLITIK HUKUM HUBUNGAN KEPALA DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG PEMERINTAHAN DESA PASCA REFORMASIen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record