PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI SELAMA PROSES GUGAT CERAI DENGAN ALASAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No. 0146/Pdt-G/2015/PA/YK dan No. 0359/Pdt-G/2015/PA/YK)
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap isteri selama proses gugat
cerai dengan alasan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan sosiologis normative yang di dukung data empiris dan dianalisis secara kualitatif dalam
pembahasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan (isteri) korban KDRT
telah dijamin oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus termuat
pada Bab VI Pasal 16-38, yang meliputi:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Akan tetapi pada tataran implementasi, banyak kendala yang dihadapi baik alasan struktural maupun
kultural. Alasan struktural karena belum semua aparat hukum memiliki sensitifitas yang berpihak pada
korban KDRT, masih banyak aparat hukum yang justru menyalahkan korban. Dibutuhkan sensitivitas gender
aparat penegak hukum, karena walaupun Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
telah ada, namun jika tanpa dukungan aparat penegak hukum maka tidak akan bisa mengeliminir kekerasan
dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap isteri. Alasan kultural karena KDRT merupakan masalah
yang berkaitan erat dengan bias gender yang biasa terjadi pada masyarakat patriarkal dimana distribusi
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan timpang, sehingga kaum laki-laki mendominasi institusi sosial dan
tubuh perempuan. Selain itu dominasi laki-laki dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang
memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence).
Kesimpulannya bahwa ketika terjadi KDRT dibutuhkan peran semua pihak dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap perempuan (isteri) korban KDRT sesuai peran masing-masing. Sensitifitas dan
empati semua stakeholder (termasuk aparat penegak hukum) sangat diperlukan dalam menangani tindak
pidana KDRT. Dimulai dari memahami konteks psikososial korban yang dililit siklus kekerasan, siklus isolasi
dan terkurung dalam roda relasi kuasa pelaku. Hal ini sangat berguna bagi masing-masing pihak dalam
menjalankan kewenangannya, meyelesaikan perkara keluarga ini.
Collections
- Master of Law [1464]