Show simple item record

dc.contributor.authorSUTRISNOWATI, 15912103
dc.date.accessioned2018-07-20T12:35:26Z
dc.date.available2018-07-20T12:35:26Z
dc.date.issued2017-01-26
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8958
dc.description.abstractPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap isteri selama proses gugat cerai dengan alasan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan sosiologis normative yang di dukung data empiris dan dianalisis secara kualitatif dalam pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan (isteri) korban KDRT telah dijamin oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus termuat pada Bab VI Pasal 16-38, yang meliputi: a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. Akan tetapi pada tataran implementasi, banyak kendala yang dihadapi baik alasan struktural maupun kultural. Alasan struktural karena belum semua aparat hukum memiliki sensitifitas yang berpihak pada korban KDRT, masih banyak aparat hukum yang justru menyalahkan korban. Dibutuhkan sensitivitas gender aparat penegak hukum, karena walaupun Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah ada, namun jika tanpa dukungan aparat penegak hukum maka tidak akan bisa mengeliminir kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap isteri. Alasan kultural karena KDRT merupakan masalah yang berkaitan erat dengan bias gender yang biasa terjadi pada masyarakat patriarkal dimana distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan timpang, sehingga kaum laki-laki mendominasi institusi sosial dan tubuh perempuan. Selain itu dominasi laki-laki dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence). Kesimpulannya bahwa ketika terjadi KDRT dibutuhkan peran semua pihak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan (isteri) korban KDRT sesuai peran masing-masing. Sensitifitas dan empati semua stakeholder (termasuk aparat penegak hukum) sangat diperlukan dalam menangani tindak pidana KDRT. Dimulai dari memahami konteks psikososial korban yang dililit siklus kekerasan, siklus isolasi dan terkurung dalam roda relasi kuasa pelaku. Hal ini sangat berguna bagi masing-masing pihak dalam menjalankan kewenangannya, meyelesaikan perkara keluarga ini.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectKDRTen_US
dc.subjectPerlindungan Hukumen_US
dc.titlePERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI SELAMA PROSES GUGAT CERAI DENGAN ALASAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No. 0146/Pdt-G/2015/PA/YK dan No. 0359/Pdt-G/2015/PA/YK)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record