PERKEMBANGAN PENDAFTARAN TANAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Abstract
Berdasar UU Nomor 3 Tahun 1950 salah satunya memberi kewenangan
kepada D.I. Yogyakarta untuk melaksanakan otonomi bidang agraria. Salah satu
kegiatannya adalah melaksanakan pendaftaran tanah, dimana dalam perjalanannya
mengalami perkembangan dalam pelaksanaannya. Dari perkembangan tersebut
menimbulkan pertanyaan, pertama bagaimanakah efektivitas sistem pendaftaran
tanah dalam struktur hukum yang ada? kedua apakah materi hukum telah memadai
untuk mendukung terselenggaranya sistem pendaftaran tanah? dan ketiga bagaimana
kultur hukum masyarakat dalam mendukung sistem pendaftaran tanah?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif,
yang ingin mengkaji perkembangan kegiatan pendaftaran tanah dan administrasi
pertanahan dengan menitikberatkan pada struktur, materi maupun kultur hukum yang
melatarbelakangi sejak Indonesia merdeka sampai dengan kondisi saat ini.
Pendekatan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis,
teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, serta mengkaji dokumendokumen
serta dengan wawancara kepada para pihak yang berkaitan. Data yang
telah dikumpulkan kemudian diolah untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif
analisis.
Lembaga yang menangani pendaftaran tanah selalu mengalami pergantian,
secara nasional pernah ditangani oleh lembaga setingkat Kementerian, Lembaga
Pemerintah Non Departemen sampai tingkat Direktorat Jenderal. Di Yogyakarta
khusus tanah Sultan Grond (SG) dan Paku Alaman Grond (PAG) administrasinya
berbeda dengan tanah-tanah yang lain. Secara umum lembaga yang menangani
pendaftaran tanah sudah efektif kecuali tanah SG dan PAG. Secara substansi
peraturan yang mendasari kegiatan pendaftaran tanah telah memadahi untuk
terselenggarakannya kegiatan pendaftaran tanah. Di Yogyakarta saat ini masih
terdapat dualisme pengaturan di bidang pertanahan, seharusnya tidak perlu terjadi
seandainya ketentutan Peralihan diktum keempat UUPA telah dilaksanakan. Di sisi
lain pemerintah melalui BPN mengakui eksistensi tanah SG dan PAG melalui Surat
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493 perihal Mohon Petunjuk.
Kebiasaan masyarakat dalam menguasai tanah semula tidak membutuhkan kepastian
hukum (dibuktikan dengan sertifikat), kebiasaan tersebut mendominasi pada
sebagian besar masyarakat khususnya di perdesaan,.sehingga kebiasaan tersebut
kurang mendukung terselenggaranya pendaftaran tanah.
Seharusnya lembaga yang menangani bidang pertanahan lebih diperkuat,
karena harus mampu menangani urusan agraria dalam arti luas sebagaimana amanat
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Desa/kalurahan kembali diberi tugas menyelenggarakan
administrasi pertanahan. Lembaga Kasultanan dan Paku Alaman ditetapkan sebagai
subyek hak atas tanah sebagaimana ditentukan pada Pasal 16 UUPA. UUPA
seharusnya dijadikan payung bagi UU lain yang mengatur kegiatan yang berkaitan
dengan tanah/agraria dengan mengeluarkan aturan pelaksanaannya agar memberikan
kepastian hukum dalam mengelola pertanahan/agraria secara luas bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Collections
- Master of Law [1445]