Show simple item record

dc.contributor.authorSAPARDIYONO, 05 912 174
dc.date.accessioned2018-07-20T12:32:53Z
dc.date.available2018-07-20T12:32:53Z
dc.date.issued2010-04-20
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8947
dc.description.abstractBerdasar UU Nomor 3 Tahun 1950 salah satunya memberi kewenangan kepada D.I. Yogyakarta untuk melaksanakan otonomi bidang agraria. Salah satu kegiatannya adalah melaksanakan pendaftaran tanah, dimana dalam perjalanannya mengalami perkembangan dalam pelaksanaannya. Dari perkembangan tersebut menimbulkan pertanyaan, pertama bagaimanakah efektivitas sistem pendaftaran tanah dalam struktur hukum yang ada? kedua apakah materi hukum telah memadai untuk mendukung terselenggaranya sistem pendaftaran tanah? dan ketiga bagaimana kultur hukum masyarakat dalam mendukung sistem pendaftaran tanah? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang ingin mengkaji perkembangan kegiatan pendaftaran tanah dan administrasi pertanahan dengan menitikberatkan pada struktur, materi maupun kultur hukum yang melatarbelakangi sejak Indonesia merdeka sampai dengan kondisi saat ini. Pendekatan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, serta mengkaji dokumendokumen serta dengan wawancara kepada para pihak yang berkaitan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif analisis. Lembaga yang menangani pendaftaran tanah selalu mengalami pergantian, secara nasional pernah ditangani oleh lembaga setingkat Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Departemen sampai tingkat Direktorat Jenderal. Di Yogyakarta khusus tanah Sultan Grond (SG) dan Paku Alaman Grond (PAG) administrasinya berbeda dengan tanah-tanah yang lain. Secara umum lembaga yang menangani pendaftaran tanah sudah efektif kecuali tanah SG dan PAG. Secara substansi peraturan yang mendasari kegiatan pendaftaran tanah telah memadahi untuk terselenggarakannya kegiatan pendaftaran tanah. Di Yogyakarta saat ini masih terdapat dualisme pengaturan di bidang pertanahan, seharusnya tidak perlu terjadi seandainya ketentutan Peralihan diktum keempat UUPA telah dilaksanakan. Di sisi lain pemerintah melalui BPN mengakui eksistensi tanah SG dan PAG melalui Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493 perihal Mohon Petunjuk. Kebiasaan masyarakat dalam menguasai tanah semula tidak membutuhkan kepastian hukum (dibuktikan dengan sertifikat), kebiasaan tersebut mendominasi pada sebagian besar masyarakat khususnya di perdesaan,.sehingga kebiasaan tersebut kurang mendukung terselenggaranya pendaftaran tanah. Seharusnya lembaga yang menangani bidang pertanahan lebih diperkuat, karena harus mampu menangani urusan agraria dalam arti luas sebagaimana amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Desa/kalurahan kembali diberi tugas menyelenggarakan administrasi pertanahan. Lembaga Kasultanan dan Paku Alaman ditetapkan sebagai subyek hak atas tanah sebagaimana ditentukan pada Pasal 16 UUPA. UUPA seharusnya dijadikan payung bagi UU lain yang mengatur kegiatan yang berkaitan dengan tanah/agraria dengan mengeluarkan aturan pelaksanaannya agar memberikan kepastian hukum dalam mengelola pertanahan/agraria secara luas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titlePERKEMBANGAN PENDAFTARAN TANAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record