PANDANGAN LPSK MENGENAI PERLINDUNGAN BAGI SAKSI BERDASARKAN PERANNYA SEBAGAI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Abstract
Perlindungan bagi saksi yang berperan sebagai Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam praktik peradilan pidana indonesia merupakan praktik baru.
Praktik tersebut dilandasi dengan adanya pembaharuan dalam sistem peradilan
pidana indonesia. Upaya LPSK memberikan perlindungan tersebut mengacu pada
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, ada juga beberapa aturan baik berupa peraturan bersama maupun surat
edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011. Perkembangannya, Undang-Undang
No 13 Tahun 2006 diubah menjadi Undang-Undang No 31 Tahun 2014. Tesis ini
membahas tentang memadai atau tidak memadainya perlindungan bagi saksi
berdasarkan perannya sebagai whistleblower dan justice collaborator dalam
sistem peradilan pidana menurut LPSK. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui apakah Undang-Undang No 13 tahun 2006 dan Undang-Undang No
31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban memadai bagi
kepentingan whistleblower dan justice collaborator itu sendiri serta memahami
konsep perlindungan yang baik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode yuridis sosiologis yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian mengenai perlindungan hukum bagi saksi berdasarkan perannya
sebagai whistleblower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana
yang mengacu pada Undang-Undang No 13 Tahun 2006 serta Undang-Undang
No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dikaji
menggunakan pendekatan teori Lawrence M Friedman, yang hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tidak memadai untuk
memberikan perlindungan kepada whistleblower dan justice collaborator karena
substansi hukumnya tidak mengatur secara jelas tentang apa yang dimaksud dari
whistleblower dan justice collaborator serta perlindungannya. Selain itu, struktur
hukumnya juga tidak mengatur secara jelas mengenai kewenangan LPSK dalam
memberikan perlindungan tersebut. Lalu, buruknya kultur hukum dari penegak
hukum terhadap keputusan LPSK dalam memberikan perlindungan juga menjadi
penyebab tidak memadainya perlindungan. Selanjutnya, Undang-Undang No 31
Tahun 2014 juga ternyata belum begitu memadai jika diukur berdasarkan
kepentingan whistleblower dan justice collaborator. Secara substansi hukum,
undang-undang tersebut belum juga memberikan kepastian tentang adanya
penghargaan yang seharusnya diterima oleh justice collaborator, karena dalam
ketentuannya penghargaan masih bersifat fakultatif. Selain itu, secara struktur,
LPSK juga tidak diberikan kewenangan penuh untuk menentukan apakah
seseorang bisa dijadikan sebagai whistleblower maupun justice collaborator. Di
sisi lain, kultur hukum juga masih menjadi persoalan. Oleh karenanya, berbicara
mengenai konsep perlindungan yang baik bagi whistleblower dan justice
collaborator tentu harus berpatokan dengan apa yang menjadi kebutuhannya,
seperti adanya jaminan kepastian mengenai penghargaan baginya serta adanya
lembaga yang independen untuk memberikan perlindungan tersebut.
Collections
- Master of Law [1445]