Show simple item record

dc.contributor.authorSARLI ZULHENDRA, 10912610
dc.date.accessioned2018-07-20T12:29:21Z
dc.date.available2018-07-20T12:29:21Z
dc.date.issued2015-08-07
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8915
dc.description.abstractPerlindungan bagi saksi yang berperan sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator dalam praktik peradilan pidana indonesia merupakan praktik baru. Praktik tersebut dilandasi dengan adanya pembaharuan dalam sistem peradilan pidana indonesia. Upaya LPSK memberikan perlindungan tersebut mengacu pada Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, ada juga beberapa aturan baik berupa peraturan bersama maupun surat edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011. Perkembangannya, Undang-Undang No 13 Tahun 2006 diubah menjadi Undang-Undang No 31 Tahun 2014. Tesis ini membahas tentang memadai atau tidak memadainya perlindungan bagi saksi berdasarkan perannya sebagai whistleblower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana menurut LPSK. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah Undang-Undang No 13 tahun 2006 dan Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban memadai bagi kepentingan whistleblower dan justice collaborator itu sendiri serta memahami konsep perlindungan yang baik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis sosiologis yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian mengenai perlindungan hukum bagi saksi berdasarkan perannya sebagai whistleblower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana yang mengacu pada Undang-Undang No 13 Tahun 2006 serta Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dikaji menggunakan pendekatan teori Lawrence M Friedman, yang hasil penelitiannya menjelaskan bahwa Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tidak memadai untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower dan justice collaborator karena substansi hukumnya tidak mengatur secara jelas tentang apa yang dimaksud dari whistleblower dan justice collaborator serta perlindungannya. Selain itu, struktur hukumnya juga tidak mengatur secara jelas mengenai kewenangan LPSK dalam memberikan perlindungan tersebut. Lalu, buruknya kultur hukum dari penegak hukum terhadap keputusan LPSK dalam memberikan perlindungan juga menjadi penyebab tidak memadainya perlindungan. Selanjutnya, Undang-Undang No 31 Tahun 2014 juga ternyata belum begitu memadai jika diukur berdasarkan kepentingan whistleblower dan justice collaborator. Secara substansi hukum, undang-undang tersebut belum juga memberikan kepastian tentang adanya penghargaan yang seharusnya diterima oleh justice collaborator, karena dalam ketentuannya penghargaan masih bersifat fakultatif. Selain itu, secara struktur, LPSK juga tidak diberikan kewenangan penuh untuk menentukan apakah seseorang bisa dijadikan sebagai whistleblower maupun justice collaborator. Di sisi lain, kultur hukum juga masih menjadi persoalan. Oleh karenanya, berbicara mengenai konsep perlindungan yang baik bagi whistleblower dan justice collaborator tentu harus berpatokan dengan apa yang menjadi kebutuhannya, seperti adanya jaminan kepastian mengenai penghargaan baginya serta adanya lembaga yang independen untuk memberikan perlindungan tersebut.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPerlindunganen_US
dc.subjectwhistlebloweren_US
dc.subjectjustice collaboratoren_US
dc.subjectsistem peradilan pidanaen_US
dc.titlePANDANGAN LPSK MENGENAI PERLINDUNGAN BAGI SAKSI BERDASARKAN PERANNYA SEBAGAI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record