PERBANDINGAN KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM PERKAWINAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ( UU PKDRT) DENGAN HUKUM ISLAM
Abstract
Kekerasan seksual dalam perkawinan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan tersebut, utamanya terhadap
kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek
seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa
harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan secara fisik, seksual serta psikis.
Sesuai dengan obyek studi yang diangkat, maka pembahasan dititik beratkan pada masalah
perkawinan, yaitu perbandingan konsep korban kekerasan seksual dalam perkawinan ditinjau
dari perspektif hukum pidana (UU PKDRT) dan hukum Islam. Dalam hukurn Islam, khilafiah
te~jadki arena adanya pemaknaan ayat secara tekstual ataupun kontekstual. Begitu juga dengan
beberapa produk hukum positif yang diharapkan akan mampu memberikan suatu nuansa
perlindungan bagi korbannya (isteri), salah satu undang-undang yang membahas persoalan ini
adalah UU PKDRT No 23 Tahun 2004. Selama ini rnitos yang berkembang terutama dalam
masyarakat kita adalah seorang isteri hams menuruti perintah suami apapun keadaannya,
sehingga budaya patriarkat terasa menghegemoni. Suatu keadaan yang lebih menonjolkan suatu
kewajiban yang penuh isteri dari pada hak-hak yang ternyata banyak terabaikan. Sehingga bisa
jadi suatu keadaan dimana isteri tidak taat kepada suami akan disebut 'nusyus', tanpa ada suatu
batasan yang jelas. Dalam konteks Islam kekerasan seksual dalam perkawinan menyatakan
bahwa dalam sebuah perkawinan telah terbagi hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Dan
sudah seharusnyalah isteri selalu taat dan patuh dalam melayani segala kepentingan dan
keinginan suami bagaimanapun keadaannya. Jika hal ini tidak terlaksana, maka hal ini dapat
dikatakan 'nusyus'. Serta antara hak dan kewajiban suami-isteri dalam suatu ikatan perkawinan
adalah seimbang, saling mengerti, menghargai, dan menghomati. Akan tetapi didalam Al-qur7an
Allah telah menjelaskan bagaimana seharusnya seorang suami ha1 ini bisa dilihat dalam arti
potongan ayat yang berbunyi dan pergaulilah mereka dengan cara yang ma'ruf (baik). Ayat ini
menjadi landasan bahwasanya dalam melakukan hubungan seksual dengan isteri hendaknya
dengan cara-cara yang baik tanpa memaksakan kehendak walaupun ada juga yang membebaskan
suami untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang disukai. Begitu pula dalam
hukum positif Indonesia. Dalam KUHPidana tidak ada pasal-pasall ketentuan hukum yang
mengatur ha1 ini kekerasan seksual dalam perkawinan akan tetapi hal ini dirincikan didalam UU
PKDRT.. Begitu juga dalam Rancangan KUHPidana yang ada, justru dijelaskan bahwasanya
perkosaan dalam rumah tangga tidak ada. Walaupun sebenarnya Indonesia sebenarnya telah
merativikasi beberapa konvensi PBB tentang penghapusan terhadap segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan kedalam UU No. 7 Tahun 1984. Hal yang sungguh ironis sekali mengingat
para korban yang sangat memerlukan keadilan dan perlindungan hak-haknya terutama sebagai
isteri.
Dalam kesempatan ini penulis mencoba menuangkannya beberapa pennasalahan, yaitu
Bagimanakah konsep kekerasan seksual dalam perkawinan ditinjau dari perspektif hukum pidana
(UU PKDRT) dan hukum Islam, Bagimana perlindungan korban kekerasan seksual dalam
perkawinan dalam hukum pidana (UU PKDRT) dan hukum Islamdan Apakah Filosofi dari
Kekerasan dalam Seksual dalam rumah tangga?
Tujuan penulis dengan mengangkat pennasalahan yang ada adalah untuk mengetahui
bagaimana kosnsep hukum pidana ( UU PKDRT) dan hukum Islam terhadap korban kekerasan
seksual dalam perkawinan, Untuk mengetahui perbandingan konseptual kekerasan seksual dalam
perkawinan ditinjau dari perspektif hukum pidana dan hukum islam, Untuk mengetahui
bagaimana perlindungan hukum korban kekerasan seksual dalam perkawinan di tinjau dalam
hukum pidana ( UU-PKDRT) dan hukum Islam Untuk serta mengetahui Filosofi kekerasan
seksual dalam perkawinan.Sedangkan untuk menemukan suatu solusi permasalahan yang ada
penulis menggali data-data dari berbagai referensi kepustakaan yang relevan dengan
permasalahan kemudian dianalisa.
Oleh karena itu dalam karya tulis ini penulis menggunakan metode comparatif
(perbandingan) dalam ha1 ini antara hukurn pidana (UU PKDRT dan Hukum Islam. Dalam
hukum positif memandang kekerasan seksual dalam perkawinan adalah salah satu tindak pidana
yang berakibat dapat dipidana sesorang apabila melakukan perbuatan tersebut. Sementara dalam
hukum Islam kekerasan dalam perkawinan bukanlah merupakan sebuah tindak pidana yang
pelakunya dapat dijerat dengan menggunakan pasal KDRT akan tetapi islam mengajarkan
kepada ummatnya agar dalam melaksaakan hubungan seksual dalam perkawinan hendaknya
dengan cara-cara yang baik (ma'ruf) .Dalam pemberian saksi bagi pelakunya, UU PKDRT
menjelaskan didalam pasal 36 dengan ketentan pidana penjara 12 tahun dan denda 36.000.000.
Sedangkan dalam hukum islam perbuatan kekerasan seksual dalam perkawinan bukanlah sebah
tindakan pidana artinya perbuatan tersebut tidak berimplikasi pada hukuman bagi pelakunya
akan tetapi dalam sebuah hadis dikatakan orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang
yang berbuat baik keada isterinya. Kesimpulannya adalah dalam hukum pidana ( UU PDRT)
kekerasan seksual merupakan tindak pidana sedang dalam islam bukan merupakan tindak pidana
adapun yang menjadi persamaanya adalah sama-sama melindungi dan menghormati keduddukan
perempuan dalam sebuah perkawinan
Collections
- Master of Law [1445]