PERILAKU PENEGAK HUKUM DALAM PERADILAN ASRORI (Telaah Melalui Pendekatan Hukum Progresif)
Abstract
Peradilan Asrori merupakan salah satu contoh miscarriage of justice yang pernah
terjadi dalam peradilan pidana di Indonesia, yaitu perilaku yang menunjukkan gagalnya
penegak hukum kasus Asrori dalam mencapai tujuan tegaknya keadilan. Hal ini di
sebabkan oleh perilaku penegak hukum yang menggunakan cara-cara konvensional dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu cara berhukum yang hanya bersandarkan pada
aspek kepastian hukum semata Di mana peradilan Sugik tidak dapat di hentikan karena
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, seperti apa yang di sebutkan dalam Pasal3
KUHAP yaitu; '>eradilan dilakukan menurut cara yang di atur dalam undang-undang
ini", dengan demikian, diluar ketentuan mekanisme KUHAP, maka tindakan
menghentikan persidangan Sugik tidak dapat dibenarkan. Persoalannya apakah terdakwa
Sugik harus tetap melanjutkan persidangan, sementara mereka adalah korban salah
tangkap-
Studi ini dimaksudkan untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana
perilaku penegak hukum Asrori; dan (2) untuk mendalami serta menganalisis secara kritis
peradilan Asrori melalui penafsiran kritikal hukum progresif dan penafsiran hermeneutik.
Penelitian socio-legal dengan dua fokus studi; pertama, studi tekstual terkait dengan
eksaminasi terhadap teks (subtansi hukum) yaitu Pasal3 KUHAP akan di analisa melalui
pendekatan hermeneutik; dan kedua, studi kontekstual yang mengarahkan analisisnya
terhadap perilaku sosial penegak hukum Asrori melalui pendekatan hukum progresif.
Dengan demikian penafsiran hermeneutika terhadap peradilan Asrori terletak pada
agenda rekontekstualisasi terhadap teks hukum (Pasal3 KUHAP) yang harus ditafsirkan
secara selektif, yang mana disesuaikan dengan situasi kebenaran faktual pada saat itu, dan
menjadikan persoalan kemanusiaan bagian dari perbincangan utama untuk mendatangkan
keadilan subtantif bagi terdakwa Sugik. Sehingga jika penafsir (hakim dan penuntut
urnum) ingin menyatakan pendapat hukumnya (subyektifitas), maka harus pasti berada
pada realitas-faktual yang sesungguhnya. Oleh karena kita selalu dihadapkan pada
kenyataan, yang setiap waktu dapat berubah, dan berbeda-beda dengan kenyataan di lain
tempat, maka para penegak hukum tidak hanya berpegangan pada keterbatasanketerbatasan
pada teks hukum yang ada.
Sebagaimana hukum progresif berupaya merefleksikan perilaku penegak hukum
Asrori dalam menempatkan hukum sebagai ajaran kemanusiaan dan keadilan. Penegak
hukum diarapkan dapat berperan aktif untuk mengintegrasikan keadilan dan
kebahagiaan semata-mata demi keadilan ketiga terdakwa Devid, Kemat dan Sugik.
Kemudian gagasan hukum progresif dapat menjadi kerangka berfikir penegak hukum
dengan menggunakan paradigma pembebasan. Hukum progresif menempatkan diri
sebagai kekuatan pembebasan, yaitu membebaskan diri dari cara berfir yang
positivistik, sehingga penegak hukum tidak sekedar menjadi tawanan undang-undang.
Paradigma pembebasan ini menekankan peran kreatif penegak hukum, untuk
megkonstruksikan kebenaran tidak hanya berada pada alur kebenaran tunggal
(objektivisme) akan tetapi juga dapat menemukan kebenaran subjektif pelaku (penegak
hukum Asrori) yang dikontekstualisasikan secara dinamis dengan realitas peradilan
Asrori, demi mencapai kebenaran serta keadilan yang sebenar-benarnya.
Collections
- Master of Law [1445]