Show simple item record

dc.contributor.authorFAISAL, 07 912 288
dc.date.accessioned2018-07-16T12:38:53Z
dc.date.available2018-07-16T12:38:53Z
dc.date.issued2009-10-08
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8806
dc.description.abstractPeradilan Asrori merupakan salah satu contoh miscarriage of justice yang pernah terjadi dalam peradilan pidana di Indonesia, yaitu perilaku yang menunjukkan gagalnya penegak hukum kasus Asrori dalam mencapai tujuan tegaknya keadilan. Hal ini di sebabkan oleh perilaku penegak hukum yang menggunakan cara-cara konvensional dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu cara berhukum yang hanya bersandarkan pada aspek kepastian hukum semata Di mana peradilan Sugik tidak dapat di hentikan karena bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, seperti apa yang di sebutkan dalam Pasal3 KUHAP yaitu; '>eradilan dilakukan menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini", dengan demikian, diluar ketentuan mekanisme KUHAP, maka tindakan menghentikan persidangan Sugik tidak dapat dibenarkan. Persoalannya apakah terdakwa Sugik harus tetap melanjutkan persidangan, sementara mereka adalah korban salah tangkap- Studi ini dimaksudkan untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana perilaku penegak hukum Asrori; dan (2) untuk mendalami serta menganalisis secara kritis peradilan Asrori melalui penafsiran kritikal hukum progresif dan penafsiran hermeneutik. Penelitian socio-legal dengan dua fokus studi; pertama, studi tekstual terkait dengan eksaminasi terhadap teks (subtansi hukum) yaitu Pasal3 KUHAP akan di analisa melalui pendekatan hermeneutik; dan kedua, studi kontekstual yang mengarahkan analisisnya terhadap perilaku sosial penegak hukum Asrori melalui pendekatan hukum progresif. Dengan demikian penafsiran hermeneutika terhadap peradilan Asrori terletak pada agenda rekontekstualisasi terhadap teks hukum (Pasal3 KUHAP) yang harus ditafsirkan secara selektif, yang mana disesuaikan dengan situasi kebenaran faktual pada saat itu, dan menjadikan persoalan kemanusiaan bagian dari perbincangan utama untuk mendatangkan keadilan subtantif bagi terdakwa Sugik. Sehingga jika penafsir (hakim dan penuntut urnum) ingin menyatakan pendapat hukumnya (subyektifitas), maka harus pasti berada pada realitas-faktual yang sesungguhnya. Oleh karena kita selalu dihadapkan pada kenyataan, yang setiap waktu dapat berubah, dan berbeda-beda dengan kenyataan di lain tempat, maka para penegak hukum tidak hanya berpegangan pada keterbatasanketerbatasan pada teks hukum yang ada. Sebagaimana hukum progresif berupaya merefleksikan perilaku penegak hukum Asrori dalam menempatkan hukum sebagai ajaran kemanusiaan dan keadilan. Penegak hukum diarapkan dapat berperan aktif untuk mengintegrasikan keadilan dan kebahagiaan semata-mata demi keadilan ketiga terdakwa Devid, Kemat dan Sugik. Kemudian gagasan hukum progresif dapat menjadi kerangka berfikir penegak hukum dengan menggunakan paradigma pembebasan. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu membebaskan diri dari cara berfir yang positivistik, sehingga penegak hukum tidak sekedar menjadi tawanan undang-undang. Paradigma pembebasan ini menekankan peran kreatif penegak hukum, untuk megkonstruksikan kebenaran tidak hanya berada pada alur kebenaran tunggal (objektivisme) akan tetapi juga dapat menemukan kebenaran subjektif pelaku (penegak hukum Asrori) yang dikontekstualisasikan secara dinamis dengan realitas peradilan Asrori, demi mencapai kebenaran serta keadilan yang sebenar-benarnya.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titlePERILAKU PENEGAK HUKUM DALAM PERADILAN ASRORI (Telaah Melalui Pendekatan Hukum Progresif)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record