PENGATURAN CYBER CRIME DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
Abstract
Kejahatan teknologi informasi atau dikenal dengan istilah cyber crime
merupakan permasalahan yang harus ditangani secara serius. Hal ini
dikarenakan dampak dari kejahatan ini sangat luas dan banyak merugikan
perekonomian masyarakat. Apabila tidak ditanggulangi secara dini, maka
kejahatan tersebut akan berkembang dan menuntut perhatian yang lebih luas
dari aparat hukum dan pembuat UU, agar peluang kerugian yang ditimbulkan
oleh cyber crime yang tidak semestinya, dibutuhkan perangkat perahvan dan
perundangan yang membatasi sekaligus menghukum pelaku karena cyber
crime apapun bentuknya tergolong tindakan kejahatan yang harus dihukum,
pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah perundangan Indonesia sudah
mengatur masalah tersebut ? Berdasarkan pemahaman ini, maka penulisan
tesis ini merumuskan dua rumusan masalah, yakni; Pertama, Bagaimanakah
pengaturan cyber crime dalam hukum pidana positif Indonesia ?, Kedua,
Bagaimanakah kebijakan kriminalisasi cyber crime dalam konteks hukum
pidana yang akan datang (lus Constituendum)?
Dari hasil penelitian masalah ada dua ha1 pokok yang dapat
disimpulkan. Pertama, cyber crime dalam hukum pidana positif Indonesia,
apabila diperhatikan telah memiliki pengaturan. Pengaturan itu dapat dilihat
pada ketentuan di dalam KUHP, Pasal 112 tentang pembocoran rahasia
negara, Pasal 322 tentang membuka rahasia perusahaan, Pasal 282 tentang
pornografi, Pasal 362 Pencurian, Pasal 369 tentang pemerasan dan
pengancaman, Pasal 378 tentang penipuan, Pasal 372 tentang pengelapan,
Pasal382 bis tentang pelanggaran nama domain, Pasal406 tentang perusakan,
Pasal 506 tentang prostitusi (Pelanggaran Ketertiban Umum). Di samping
KUHP beberapa ketentuan perundang-undang diluar KLTHP seperti, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Namun demikian,
pengaturan cyber crime dalam hukum pidana positif Indonesia ada beberapa
dari cyber crime yang dapat dijerat dengan hukum pidana Indonesia, dan
sebagian lagi tidak dikarenakan kejahatan ini relatif baru, oleh karena itu,
timbul berbagai permasalahan dalam prakteknya. Misalnya masalah hacking
karena tidak memenuhi unsur-unsur didalam KUHP, dengan demikian terjadi
kekosongan hukum untuk menjangkau kejahatan ini apabila dikaitkan dengan
unsur-unsur delik yang diatur dalam KLTHP. Bertolak dari hal tersebut maka
menurut hemat penulis perlu adanya kebijakan kriminalisasi atau pembaharuan
hukum pidana (KUHP).
Kedua, kebijakan kriminalisasi cyber crime dalam konteks hukum
pidana yang akan datang (Ius Constituendum), dimana upaya untuk
mengantisipasi atas cyber crime ini, telah dilakukan dalam ha1 ini dituangkan
dalam Konsep Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru (konsep
200512006): Buku I Pasal 158 pengertian "Anak kunci", Pasal 165 pengertian
"Barang ", Pasal 186 pengertian "Masuk", Pasal 174 pengertian "Jaringan
telepon", Pasal 203 pengertian "PornograJi", Pasal 204 pengertian "Ruang",
Pasal 207 pengertian "Surat." Buku I1 Pasal 300 tentang Menyadapan
pembicaraan, Pasal 301 Memasang alat bantu teknis, Pasal 373 Penggunaan
dan perusakan informasi elektronik, Pasal 374 Pengubahan informasi yang
masih dalam proses transaksi, Pasal 376 tanpa hak mengakses komputer dan
sistem elektronik, Pasal 377 mengubah dan merusak atau menghilangkan
informasi milik pemerintahan, Pasal 378 menggunakan dan mengakses tanpa
hak, Pasal 379 Pornografi anak melalui komputer, Pasal 735-736 pencucian
uang atau Money Laundering, dan juga kebijakan kriminalisasi cyber crime ini
dengan Rancangan Undang-Undang RUU Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi.
Saran Penulis, Pertama, segera disahkan Undang-undang yang
berkaitan dengan cyber law umumnya dan cyber crime khususnya. Kedua,
sebelum adanya aturan khusus tentang cyber crime, hakim, aparat penegak
hukum lainya hams berani melakukan "rechtsvinding" (penemuan hukum).
Ketiga, Dalam kebijakan kriminalisasi cyber crime tersebut perlu
mempertimbangkan draft internasional yang telah ditandatangani di Budapest
pada tanggal 23 November 2001, (draft Conventional on Cyber Crime'y yang
berkaitan dengan cyber crime, mengingat kejahatan ini merupakan "global
crime" maka perlu adanya suatu asas yang memungkinkan menarik pelaku
yang berada di luar wilayah Indonesia yang merugikan Indonesia, dikarenakan
jurisdiksi kejahatan ini tidak j elas.
Collections
- Master of Law [1445]