PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Abstract
Perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat dianggap oleh
beberapa kalangan sebagai subyek yang mendapatkan perlindungan hukum yang cukup
dengan dicantumkannya hak-hak korban dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Hal ini merupakan bentuk terobosan baru dalam rangka memberikan perlindungan
hukum terhadap korban. Masalah perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat ini menjadi problem yang sangat mendasar karena menyangkut permasalahan
perlindungan terhadap hak asasi manusia secara umum.
Tesis ini megkaji tentang perlindungan hukum terhadap korban pelanggran HAM
berat dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku di Indonesia sekarang (ius Constitutum) dan bagaimana
pengaturannya di masa datang (Ius Constituendum) melalui kajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan
dokumen-dekumen penting yang berhubungan dengan permasalahan perlindungan
terhadap korban pelanggran HAM berat dalam sistem peradiln pidana.
Landasan yang menjadi dasar perlunya perlindungan hukum terhadap korban
pelanggaran HAM berat ini adalah: Secara filosofis diperlakukan secara adil dan hidup
sejahtera adalah hak asasi setiap manusia sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
Konstitusi Negara maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak
Asasi manusia oleh sebab itu secara yuridis korban wajib juga untuk diperlakukan
sebagaimana layaknya manusia. secara sosiologis korban memiliki peranan yang sangat
penting dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat. Namun dalam
prakteknya korban masih tidak mampu berbuat banyak dalam rangka memperjuangkan
hak-haknya bahkan ada kecenderungan korban akan menjadi korban kembali dalam
penyelenggaraan sistem peradilan pidana oleh sebab itu perlindungan terhadap korban
pelanggaran HAM berat ini sangat urgen sekali.
Pengaturan hak-hak korban pelanggaran HAM berat dalam peraturan
perundangan-undangan memang sudah mulai dilakukan namun demikian masih banyak
sekali kelemahan-kelemahan. Walaupun secara hukum perlindungan hukum terhadap
korban pelanggaran HAM berat sudah diatur dalam undang-undang, namun pada tahap
imlementasinya masih belum dilaksanakan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Hal ini dapat dilihat dengan mengkaji proses pelaksanaan peradilan dalam kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yaitu kasus Timor-timur, Tanjung
Priok dan Abepura. Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa ternyata pada tahap
implementasinya dalam proses penyelesaiannya kasus pelanggaran HAM dalam Sistem
peradilan pidana masih belum memberikan perlindungan terhadap korban pelangaran
HAM berat.
Guna merumuskan konsep perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat dalam sistem peradilan pidana yang efektif maka perlu merujuk pada
deklarasi tersebut diatas sehingga perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat dalam sistem peradilan pidana dimasa mendatang menjadi lebih baik dan
efektif, yaitu dengan melakukan revisi terhadap hukum acara pidana terhadap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana hukum acara yang ada dalam
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Revisi yang dimaksud adalah revisi berkaitan dengan aturan yang lebih lengkap mengenai hukum acara yang tidak lagi
merujuk pada ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab undang-undang Hukum
Acara Pidana, karena penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM berat mempunyai
karakter yang berbeda dengan pelanggaran hukum pidana biasa.
Selain itu perlu ada revisi dalam ketentuan pasal 34 dan 35 UU Nomor 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan HAM, karena pasal tersebut tidak diatur mengenai sanksi yang
jelas jika negara dan pelaku tidak dapat memberikan hak-hak korban pelanggaran HAM
berat yaitu dengan cara merevisi peraturan pelaksananya yaitu PP nomor 2 Tahun 2002
Tentang Tata cara Pemberian perlindungan terhadap korban dan PP Nomor 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam peraturan pelaksana dari pasal 34
dan 35 undangundang pengadilan HAM harus di sebutkan prosedur baku pemberian
perlindungan terhadap korban jika terjadi pelanggaran terhadap pemberian hak-hak
korban pelanggaran HAM berat, misalnya pelaku tidak mampu memberikan restitusi
maka pelaku dijatuhi pidana kerja sosial. Dan kewajiban kepada negara untuk
memberikan pekerjaan yang layak kepada korban jika negara tidak dapat memberikan
kompensasi kepada korban pelanggaran HAM berat. Namun yang lebih penting adalah
keseriusan dan kesediaan dari aparat penegak hukum untuk melaksanakan hak-hak
korban sesuai dengan undang-undang dan keberanian untuk membuat terobosan hukum
ketika undang-undang tidak mengaturnya.
Collections
- Master of Law [1464]