KEDUDUKAN HUKUM REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS MALPRAKTEK
Abstract
Suatu tindakan medis merupakan tindakan yang penuh dengan resiko. Dalam
norma hukum adanya tindakan medis yang mengakibatkan kerugian pada pasien dapat
disebut malpraktek medis jika memenuhi unsur-unsur tertentu baik dalam hukum perdata
maupun pidana. Malpraktek dalam hukum pidana dapat disebabkan oleh kesengajaan
maupun kelalaian. Dalam tesis ini malpraktek dilihat dari sudut pandang karena adanya
kelalaian pada ranah hukum pidana.
Untuk membuktikan adanya kelalaian dalam tindakan medis yang menyebabkan
malpraktek yang merugikan pasien baik berupa luka maupun kematian memerlukan alat
bukti. Rekam medis dan informed consent merupakan berkas medis yang harus ada
dalam proses pelayanan medis. Kedua berkas tersebut memungkinkan untuk dijadikan
alat bukti terhadap adanya dugaan kasus malpraktek.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum rekam
medis dan informed consent sebagai alat bukti dalam kasus malpraktek. Apakah kedua
dokumen tersebut dapat digunakan untuk membuktikan adanya malpraktek dan
bagaimanakah kekuatannya.
Spesifikasi penelitian ini bersifat normatif dengan pendekatan konseptual melalui
pemahaman konsep-konsep, pandangan-pandangan ataupun doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum dan pendekatan kasus dengan cara melakukan telaah terhadap kasus
yang berkaitan dengan masalah penelitian yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara normatif rekam medis dan informed
consent mempunyai kedudukan hukum sebagai alat bukti surat maupun petunjuk dalam
kasus malpraktek. Permenkes yang menyebutkan secara jelas bahwa rekam medis dapat
digunakan sebagai alat bukti adalah Pasal 13 Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008,
sedang mengenai informed consent tidak ditemukan peraturan yang menyebutkan
kegunaannya dalam hal pembuktian untuk penegakan hukum seperti halnya rekam tetapi
hal tersebut tidak mengubah dapat tidaknya informed consent menjadi alat bukti dalam
kasus malpraktek.
Ketika rekam medis maupun informed consent memerlukan keterangan ahli maka
keterangan mengenai isi rekam medis ini juga dapat menjadi alat bukti keterangan ahli,
tetapi jika dikaitkan dengan ajaran hukum pembuktian masih harus disesuaikan dengan
syarat alat bukti yaitu: 1) Diperkenankan oleh undang-undang, 2) Reability, 3) Necessity,
dan 4) Relevance. Nilai kekuatan pembuktian kedua berkas tersebut tidak sepenuhnya
mengikat pada hakim, tetapi tergantung pada keyakinan dan kecermatan hakim.
Hasil penelitian lapangan yang digunakan untuk memperoleh persepsi kalangan
hakim dan dokter menunjukkan bahwa seluruh responden hakim mengatakan bahwa
rekam medis dan informed consent mempunyai kedudukan sebagai alat bukti surat,
sedangkan dokter juga mengatakan dapat berfungsi sebagai alat bukti dengan tidak
menyebutkan secara spesifik jenis alat bukti.
Collections
- Master of Law [1445]