Show simple item record

dc.contributor.authorDiah Widi Astuti, 07 912 284
dc.date.accessioned2018-07-16T11:21:50Z
dc.date.available2018-07-16T11:21:50Z
dc.date.issued2009-08-06
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8694
dc.description.abstractSuatu tindakan medis merupakan tindakan yang penuh dengan resiko. Dalam norma hukum adanya tindakan medis yang mengakibatkan kerugian pada pasien dapat disebut malpraktek medis jika memenuhi unsur-unsur tertentu baik dalam hukum perdata maupun pidana. Malpraktek dalam hukum pidana dapat disebabkan oleh kesengajaan maupun kelalaian. Dalam tesis ini malpraktek dilihat dari sudut pandang karena adanya kelalaian pada ranah hukum pidana. Untuk membuktikan adanya kelalaian dalam tindakan medis yang menyebabkan malpraktek yang merugikan pasien baik berupa luka maupun kematian memerlukan alat bukti. Rekam medis dan informed consent merupakan berkas medis yang harus ada dalam proses pelayanan medis. Kedua berkas tersebut memungkinkan untuk dijadikan alat bukti terhadap adanya dugaan kasus malpraktek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum rekam medis dan informed consent sebagai alat bukti dalam kasus malpraktek. Apakah kedua dokumen tersebut dapat digunakan untuk membuktikan adanya malpraktek dan bagaimanakah kekuatannya. Spesifikasi penelitian ini bersifat normatif dengan pendekatan konseptual melalui pemahaman konsep-konsep, pandangan-pandangan ataupun doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan pendekatan kasus dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah penelitian yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara normatif rekam medis dan informed consent mempunyai kedudukan hukum sebagai alat bukti surat maupun petunjuk dalam kasus malpraktek. Permenkes yang menyebutkan secara jelas bahwa rekam medis dapat digunakan sebagai alat bukti adalah Pasal 13 Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008, sedang mengenai informed consent tidak ditemukan peraturan yang menyebutkan kegunaannya dalam hal pembuktian untuk penegakan hukum seperti halnya rekam tetapi hal tersebut tidak mengubah dapat tidaknya informed consent menjadi alat bukti dalam kasus malpraktek. Ketika rekam medis maupun informed consent memerlukan keterangan ahli maka keterangan mengenai isi rekam medis ini juga dapat menjadi alat bukti keterangan ahli, tetapi jika dikaitkan dengan ajaran hukum pembuktian masih harus disesuaikan dengan syarat alat bukti yaitu: 1) Diperkenankan oleh undang-undang, 2) Reability, 3) Necessity, dan 4) Relevance. Nilai kekuatan pembuktian kedua berkas tersebut tidak sepenuhnya mengikat pada hakim, tetapi tergantung pada keyakinan dan kecermatan hakim. Hasil penelitian lapangan yang digunakan untuk memperoleh persepsi kalangan hakim dan dokter menunjukkan bahwa seluruh responden hakim mengatakan bahwa rekam medis dan informed consent mempunyai kedudukan sebagai alat bukti surat, sedangkan dokter juga mengatakan dapat berfungsi sebagai alat bukti dengan tidak menyebutkan secara spesifik jenis alat bukti.en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.subjectrekam medisen_US
dc.subjectinformed consenten_US
dc.subjectalat buktien_US
dc.subjectmalprakteken_US
dc.titleKEDUDUKAN HUKUM REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS MALPRAKTEKen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record