KONSTITUSIONALISME DALAM KEBIJAKAN HUKUM KONTRAK (STUDI: KONTRAK MINYAK DAN GAS BUMI)
Abstract
Konstitusionalisme kontrak perdata dalam kebijakan
pembangunan hukum kontrak pertambangan minyak dan gas bumi
(Migas) guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dinilai sangat
penting untuk dikaji ulang secara komprehensif, karena praktik
kebijakan hukum kontrak yang dilakukan oleh pemerintah saat
ini dalam pengelolaan sumber daya alam terutama sektor Migas di
Indonesia telah menyimpang dari mandat Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun
1945. Kontrak kerjasama Sumber Daya Alam (SDA) Migas secara
konseptual dan praktek dalam kenyataannya tidak mencerminkan
nilai-nilai konstitusional karena bertentangan dengan jiwa Pasal 33
ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kontrak kerjasama
SDA sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 44 Prp
Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Terhadap
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 maka tidak satupun peraturan
perundang-undangan dan kontrak bagi hasil tersebut sesuai dengan
tolak ukur yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Sehingga perlu dirumuskan kembali kontstitusional kontrak
berdasarkan aspek filosofis, yuridis, politik, ekonomi dan sosiologis.
Semangat konstitusional kontrak perdata khsususnya di bidang
sumber daya alam Migas penting untuk dilakukan demi terwujudnya
adanya jaminan, perlindungan, pengakuan dan pemenuhan hak-
hak konstitusional (fundamental) rakyat karena mengikatnya
nilai konstitutif di dalam kontrak, mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan dan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, mewujudkan keadilan substantif konstitusional
yang diberikan kepada para pihak yang berkontrak dan subjek lain
yang terkena dampak pelaksanaan kontrak, memperkuat kedaulatan
pengelolaan Migas, menjaga sumber daya alam sampai titik penyerahan,
menjamin investasi yang konsusif; serta sebagai upaya hukum terhadap
pelanggaran hak-hak konstitusional akibat dilaksanakannya kontrak
pertambangan. Selanjutnya berdasarkan praktik kontrak SDA Migas
maka terdapat klausul-klausul kontrak yang bertenangan dengan Pasal
33 ayat (3) UUD diantaranya terlalu lamanya jangka waktu berkontrak
tanpa adanya klausul stabilitas, masih adanya klausul Domestic Market
Obligation padahal hal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional
oleh MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.002/
PUU-1/2003, tanggal 21 Desember 2004 mengenai UU 22/2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, kontrak Migas menyamakan kedudukan
pemerintah dengan kontraktor kontrak kerjasama. Selain secara
konsepsi masih bermasalah, secara praktik implementasi berkontrak
juga terjadi pelanggaran hak-konstitusional diantaranya KKS antara
Pemerintah Indonesia dengan PT. Lapindo Brantas menunjukan bahwa
PT. Lapindo Brantas telah mengingkari salah satu syarat berkontrak
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 huruf c UU Migas. Beberapa
pasal dalam UU Migas yang kemudian diturunkan ke dalam pasal-
pasal kontrak Migas dinilai bertentangan dengan konstitusi dan belum
mampu membawa pengharapan (expected return) guna meningkatkan
kesejahteraan dan nilai ekonomi yang optimal bagi masyarakat
sebagaimana yang terlihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor
36/PUU-X/2012, Nomor 20/PUU-V/2007 dan Nomor 65/PUU-X/2012.
Namun, dalam tataran penerapan kontrak terlihat banyaknya praktek
pelaksanaan kontrak yang bertentangan dengan konstitusional.
Collections
- Doctor of Law [109]