Justifikasi Pemberian Kewenangan Kepada Penyidik Tindak Pidana Narkotika Dalam Menentukan Justice Collaborator
Abstract
pidana narkotika dalam menetapkan justice collaborator. Dalam proses
penanganan tindak pidana, polisi selaku salah satu penegak hukum diberi
kewenangan melakukan penyidikan terhadap suatu pelanggaran tindak pidana,
termasuk penyalahgunaan tindak pidana narkotika. Disisi lain, proses penyidikan
merupakan tahapan terpenting dalam suatu tindak pidana karena menyangkut
tentang penilaian sifat dan hak-hak para tersangka. Namun demikian, penyidik
tindak pidana narkotika tidak mempunyai kewenangan dalam menetapkan justice
collaborator. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris,
sedangkan dari segi sifat laporannya adalah penelitian deskriptif-kualitatif dengan
menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
perundang-undangan (juridical approach) dan pendekatan data (date approach).
Dalam penelitian ini, sebagian besar data diperoleh dari studi pustaka dan
dilengkapi data sekunder berupa wawancara kepada pihak yang berkompeten atau
berkaitan dengan objek penelitian penulis. Data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan penyajian secara
deskriptif.
Berdasarkan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (SEMA No. 4 Tahun 2011) sebagai
dasar penetapan tersangka sebagai justice collaborator, secara yuridis formal
tidak dapat dijadikan landasan bagi penyidik tindak pidana narkotika untuk
menetapkan seorang pelaku sebagai justice collaborator. Selanjutnya ada
beberapa alasan atau landasan bagi penyidik tindak pidana untuk mendapat
kewenangan menetapkan justice collaborator antara lain, Pertama, landasan
filosofis bahwa narkotika dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime
sudah sepatutnya mendapat penanganan yang luar biasa pula, dengan maksud
mewujudkan tujuan bernegara melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum akan dapat tercapai. Kedua, kejahatan tindak
pidana narkotika merupakan kejahatan akut yang dapat merugikan orang banyak,
sehingga sangat beralasan kalau kejahatan ini mendapat penanganan yang luar
biasa, salah satu penanganan tersebut adalah dimilikinya kewenangan penyidik
tindak pidana narkotika menentukan justice collaborator selaku aparat penegak
hukum terpenting dalam proses pidana. Namun hal ini tidak diimbangi dengan
aturan formal yang berlaku, atau dengan kata lain belum adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penentuan justice collaborator bagi
penyidik tindak pidana narkotika. Ketiga, Landasan Sosiologis bahwa selaku
aparat penegak hukum, POLRI tidak terfokus pada kasus tindak pidana,
melainkan ada banya tugas lain. sehingga berkenaan dengan penanganan tindak
pidana narkotika, diperlukan kewenangan yang ekstra yaitu dimilikinya
kewenangan penentuan justice collaborator. Dengan demikian, menurut hemat
penulis bahwa upaya pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana
narkotika menentukan justice collaborator perlu di pertimbangkan dan dinilai
akan cukup ampuh untuk menekan dan menanggulangi penyalahgunaan tindak
pidana narkotika di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Kata kunci: Penyidik, Justice Collaborator, dan Tindak Pidana
Narkotika
Collections
- Master of Law [1445]