Show simple item record

dc.contributor.advisorDr. Muhammad Arief Setiawan,.SH.,M. Hum
dc.contributor.author15912014 Dhanang Bagus Anggoro
dc.date.accessioned2021-08-16T03:39:02Z
dc.date.available2021-08-16T03:39:02Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/31646
dc.description.abstractpidana narkotika dalam menetapkan justice collaborator. Dalam proses penanganan tindak pidana, polisi selaku salah satu penegak hukum diberi kewenangan melakukan penyidikan terhadap suatu pelanggaran tindak pidana, termasuk penyalahgunaan tindak pidana narkotika. Disisi lain, proses penyidikan merupakan tahapan terpenting dalam suatu tindak pidana karena menyangkut tentang penilaian sifat dan hak-hak para tersangka. Namun demikian, penyidik tindak pidana narkotika tidak mempunyai kewenangan dalam menetapkan justice collaborator. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris, sedangkan dari segi sifat laporannya adalah penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (juridical approach) dan pendekatan data (date approach). Dalam penelitian ini, sebagian besar data diperoleh dari studi pustaka dan dilengkapi data sekunder berupa wawancara kepada pihak yang berkompeten atau berkaitan dengan objek penelitian penulis. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan penyajian secara deskriptif. Berdasarkan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (SEMA No. 4 Tahun 2011) sebagai dasar penetapan tersangka sebagai justice collaborator, secara yuridis formal tidak dapat dijadikan landasan bagi penyidik tindak pidana narkotika untuk menetapkan seorang pelaku sebagai justice collaborator. Selanjutnya ada beberapa alasan atau landasan bagi penyidik tindak pidana untuk mendapat kewenangan menetapkan justice collaborator antara lain, Pertama, landasan filosofis bahwa narkotika dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime sudah sepatutnya mendapat penanganan yang luar biasa pula, dengan maksud mewujudkan tujuan bernegara melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum akan dapat tercapai. Kedua, kejahatan tindak pidana narkotika merupakan kejahatan akut yang dapat merugikan orang banyak, sehingga sangat beralasan kalau kejahatan ini mendapat penanganan yang luar biasa, salah satu penanganan tersebut adalah dimilikinya kewenangan penyidik tindak pidana narkotika menentukan justice collaborator selaku aparat penegak hukum terpenting dalam proses pidana. Namun hal ini tidak diimbangi dengan aturan formal yang berlaku, atau dengan kata lain belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penentuan justice collaborator bagi penyidik tindak pidana narkotika. Ketiga, Landasan Sosiologis bahwa selaku aparat penegak hukum, POLRI tidak terfokus pada kasus tindak pidana, melainkan ada banya tugas lain. sehingga berkenaan dengan penanganan tindak pidana narkotika, diperlukan kewenangan yang ekstra yaitu dimilikinya kewenangan penentuan justice collaborator. Dengan demikian, menurut hemat penulis bahwa upaya pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana narkotika menentukan justice collaborator perlu di pertimbangkan dan dinilai akan cukup ampuh untuk menekan dan menanggulangi penyalahgunaan tindak pidana narkotika di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Kata kunci: Penyidik, Justice Collaborator, dan Tindak Pidana Narkotikaen_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPenyidiken_US
dc.subjectJustice Collaboratoren_US
dc.subjectTindak Pidana Narkotikaen_US
dc.titleJustifikasi Pemberian Kewenangan Kepada Penyidik Tindak Pidana Narkotika Dalam Menentukan Justice Collaboratoren_US
dc.Identifier.NIM15912014


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record