PEMBACAAN WISTAWAN ASING TERHADAP MONUMEN GROUND ZERO DI LEGIAN KUTA BALI
Abstract
Peristiwa ledakan teror bom Bali 2002 silam, membuat pemerintah Badung, Bali memutuskan untuk mendirikan Monumen Perdamaian atau yang sering disebut Monumen Ground Zero di sekitar bekas ledakan yaitu di jalan Legian. Setelah peresmian Monumen, tempat ini menjadi salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Objek wisata menjadi menarik adalah bagaimana wisatawan asing membaca Monumen Grouns Zero di Legian Kuta Bali.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Monumen Ground Zero, Legian Kuta Bali. Sumber data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis, dimana mengambil narasumber wisatawan asing berusia sekitar 20-50 tahun, laki-laki dan perempuan dengan total 20 narasumber.
Teori pembacaan teks meyakini bahwa pada dasarnya audiens aktif membaca teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, membaca atau dalam membuat kesimpulan. Setiap audiens dapat melihat sesuatu secara berbeda karena setiap audiens memiliki kesadaran dan cara memahami sesuatu obyek dan suatu peristiwa dengan pengalaman individu masing-masing, sehingga mendapatkan hasil pemahaman yang berbeda. Menurut Stuart Hall (Hall, 1973: 128-38) terdapat tiga kemungkinan posisi yang dihasilkan dari proses decoding, yaitu Posisi Dominan, Negosiasi, dan Oposisi.
Dengan Monumen Ground Zero ini, Bali memiliki unique sign atau icon yang baru. Monumen Ground Zero sendiri memiliki latar belakang pendirian sebagai tempat mengenang dan mengingat tragedi bom Bali, sehingga masyarakat terus respect terhadap para korban yang selamat maupun korban yang tidak selamat, bukan sebagai tempat bersenang-senang, bercanda-ria di sekitar monumen. Meskipun sumber pengetahuan mengenai monumen berbeda-beda, aktivitas, serta intensitas kunjungan yang dilakukan wisatawan asing berbeda, namun tujuan para wisatawan asing ini sama yaitu berdoa untuk para korban meninggal dan untuk mengenang serta mengingat kembali peristiwa yang pernah terjadi, sehingga diharapkan tidak adanya aksi terorisme lagi. Keseragaman ini memunculkan kesimpulan bahwa resepsi wisatawan asing berada di posisi pembacaan dominan, karena wisatawan asing mengartikan sebagai tempat untuk merenung dan berdoa. Hal ini berarti sesuai dengan maksud yang disampaikan dari Gubernur Bali atau sesuai dengan tujuan encoding dari Monumen.
Hal inilah yang tampaknya di baca secara seragam oleh para turis, membuktikan bahwa diskursus terorisme bersifat hegemonik. Dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, membuat sistem berpikir para turis yang selalu menganggap teror identik dengan Islam, bahwa teror adalah musuh kemanusiaan. Yang terlupa di dalam cara pandang yang seragam ini adalah pemahaman yang mendalam mengapa terorisme berkembang, mengapa aksi-aksi teror terus terjadi.
Collections
- Communication [943]