dc.description.abstract | Tekanan pada pemerintahan era reformasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu telah
menimbulkan dilema dengan konsekuensinya masing-masing. Apakah adili clan dihukum, adili kemudian
ampuni, tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya, atau tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu
saja. Indonesia akhirnya mcmilih politik hukum adili dan menyiapakan KKR. Tetapi kedua la~gkahte rsebut
telah gagal, dan mengundang spikulasi hukum dan politik yang menarik diteliti.
Fokus masalah penelitian ini ialah: Perfama, bagaimana substansi produk hukum HAM untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di era reformasi? Kedua, bagaimana hukum HAM ditegakkan
ur~tuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di era reformasiliKetiga, hukum HAM seperti apakah
yang semestinya dibuat, dan bagaimana menegakkannya agar terbangun kehidupan kemanusian yang lebih
baik dan mencegah terulangnya pelanggaran HAM oleh penguasa?
Politik hukum HAM pemerintahan era refomasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa
lalu dilakukan dengan kebijakan memproduk peraturan perundang-undangan dan melaksanakan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Pembentukan perahran perundang-undangan diwujudkan dalam dua aspek, yaitu: Pertama, produk
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum sebagai kondisional politik berupa: (i) mencabut
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan HAM bersamaan dengan pembebasan tahanantahanan
politik; (ii) mencabut dan membuat peraturan perundang-undangan ban untuk mereformasi
kekuasaan-kekuasaan politik; (iii) mencabut dan membuat peraturan perundang-undangan untuk
merefomasi institusi-institusi hukum. Kedua, produk peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
yang memuat substansi perlindungan HAM, serta peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Proses dan substansi legislasi pelepasan tahanan politik, penguatan hak sipil dan hak poiitik,
amandemen UUD 1945, pembuatan dan penguatan lembaga perlindungan HAM, reformasi politik,
reformasi hukum, dan refom~asi sektor keamanan berjalan responsif dalam proses dan substansi. Tetapi
produk hukum HAM untuk menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, sebalinya mengandung kelemahan
substansial mendasar yang menirnbuikan konsekuensi serius di level penegakan atau pelaksanannya.
Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Tirnur cian Tanjung Priok telah gagal. Sedang kasus TSS
terhenti. Kegagalan tersebut dilengkapi pula dengan gagalnya penyelesaian melalui KKR; selain karena
telah dibatalkan MK, juga karena paradigma pemerintah tentang KKR adalah instrumen rekonsiliasi; bukan
untuk mengungkapkan kebenaran demi keadilan.
Karena itu, politik hukum HAM di era demokratis haruslah bersifat responsif dan progresif dalm
proses dan substansi. Responsif pada proses adalah agar pembuatan hukum HAM tidak dilakukan lagi oleh
pemerintah dan atau DPR, tetapi melalui tim independen. Sedangkan responsif secara substansial adalah
bahwa agar UU yang dibuat, merupakan konstruksi normatif atas kebutuhan riil masyarakat akan
penghormatan dan perlindungan HAM dalam konteks masyarakat Indonesia sekarang dan yang akan datang.
Responsivitas politik hukurn HAM ke depan diwujudkan dalam bentuk: merubah dan menambah
aspek substansi, susunan dan pemuatan materi yang tercakup dalam HSP pada UUD 1945 dengan: (a)
melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 dengan fokus pada: (i) Menghapus atau secara tegas
mengatur perkecualian atas Pasal 28 (I); (ii) Menambahkan Kewenangan Mahkamah Konstitusi; (iii)
Memasukkan ketentuan Tentang Ratifikasi Konvensi HAM Internasional; (iv) menegaskan ideologi hukum
UUD 1945 ke arah negara sejahtera; (v) Mencantumkan secara ekspelisit keberadaan Kornnas HAM sebagai
lembaga negara; (vi) Memperbaiki Susunan Pemuatan Substansi HSP; (vii) Larangan Melakukan Tindakan
Pembiaran. (b) Merevisi UU No. 39 Tahun 1999; (c) Mengganti UU No. 26 Tahun 2000; (d) Pembuatan UU
KKR; (e) Merevisi KUHAP; (f) meratifikasi Statuta Roma.
Penegakan hukum HAM progresif dilaksanakan dengan memperkuat institusi dan manusiamanusia
penegakan hukum HAM, dengan melakukan: Pertama, memperbaiki landasan konstitusional
Kornnas HAM dengan UU tersendiri. Kedua, menguatkan institusi kejaksaan. Ketiga, penguatan institusi
pengadilan dan hakim; Keempat, penguatan MK. Kelima, penerapan hukum HAM dengan paradigma kritis
(progresiij, dan tidak terpaku pada cara berpikir legal positvistik, karena pelanggaran dan potensi
pelanggaran HAM ke depan, terutama HESB akan semakin kompleks yang menuntut kemampuan dan
kemauan institusi serta pelaksana hukum HAM yang progresif. | en_US |