Show simple item record

dc.contributor.authorNIKEN WAHYUNING RETNO MUMPUNI, 14912095
dc.date.accessioned2018-07-20T13:54:06Z
dc.date.available2018-07-20T13:54:06Z
dc.date.issued2016-12-17
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9141
dc.description.abstractKeberadaan norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 UU Nomor 32 Tahun 2009 mewajibkan adanya izin bagi pengelolaan limbah B3 namun di sisi lain Pasal 95 ayat (1) mengatur bahwa penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelola limbah B3 yang dihasilkan tersebut dengan ancaman sanksi pidana jika tidak melakukannya. Keberadaan dua norma yang bersifat kontradiktif tersebut telah merugikan hak konstitusional atas “pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil”, sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009. Oleh sebab itu muncullah suatu permasalahan hukum yang kemudian atas keberadaan Pasal tersebut Pihak penguji mengajukan uji materi Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungn Hidup yang kemudian muncul pertanyaan yaitu apa dasar pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian Pasal 59 Ayat (4), Pasal 95 Ayat (1) dan pasal 102 UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup terhadap UUD 1945?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji pokok permasalahan melalui pendekatan yuridis-normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditambah dengan bahan-bahan hukum lain yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil penelitian tersebut terjawab sebagai berikut : pertimbangan hukum Mahkamah mendasarkan pada pertimbangan hukum positif dan pertimbangan hukum di luar hukum positif. Bahwa Sebagaimana didalilkan Pemohon, Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 serta Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,dalam putusan bernomor 18/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin. Hakim Mahkamah Konstitusi juga menghapus kata “dapat” dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini. Dengan begitu, Pasal 95 ayat (1) UU PPLH selengkapnya menjadi “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.”en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupen_US
dc.subjectIzin Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)en_US
dc.subjectPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/Puu-Xii/2014en_US
dc.titleANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XII/2014 TENTANG PENGUJIAN PASAL 59 AYAT (4), PASAL 95 AYAT (1), DAN PASAL 102 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record