Show simple item record

dc.contributor.authorM. NASSIR AGUSTIAWAN, 11912680
dc.date.accessioned2018-07-20T12:41:20Z
dc.date.available2018-07-20T12:41:20Z
dc.date.issued2012-11-23
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8987
dc.description.abstractPasca amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001, lahir sebuah lembaga yudisial baru, mempunyai kedudukan setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung dan berada di luar Mahkamah Agung bernama Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C Ayat (1) dan (2), Mahkamah Konstitusi diberikan empat kewenangan dan satu kewajiban. Pada hari Jumat, tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan membuat ketentuan norma hukum baru. Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono dari pernikahan sirri-nya. Realitas hukum dalam bentuk Putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010. Penyusun bermaksud meneliti apakah Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan norma hukum baru? Dan Bagaimana konstruksi hukum yang dibangun oleh MK dalam membuat ketentuan norma hukum baru pada Putusan No. 46/PUU.VIII/2010 Perihal Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan? Penelitian ini adalah Jenis kepustakaan (library research), penelitian bersifat deskriptif analitik, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Normatif-Yuridis dan pendekatan kasus (case approach). bahan-bahan hukum yang terkumpul dianalisa secara mendalam dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Setelah adanya dua putusan MK yakni Putusan No. 48/PUU-IX/2011 dan Putusan No. 49/PUU-IX/2011 tertanggal 18 Oktober 2011. Secara otomatis pembatasan maupun pengawasan kepada MK digugurkan secara hukum, dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi terdapat asas Ius Curia Novit, pembentukan Mahkamah Konstitusi betujuan untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Putusan hakim (yurisprudensi) merupakan salah satu sumber hukum formil dan juga merupakan salah satu sumber ilmu hukum tata negara yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi keberadaannya. Konstruksi hukum yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi dalam membuat ketentuan norma hukum baru pada Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan nomor 46/PUUVIII/ 2010 pada bagian pendapat/ pertimbangan Mahkamah dari point [3.11] sampai point [3.15].en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.titleKEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMBENTUKAN NORMA HUKUM BARU (STUDI KASUS PUTUSAN MK NO. 46/PUU.VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record