Show simple item record

dc.contributor.authorINDRAWAN, 10912593
dc.date.accessioned2018-07-19T16:03:11Z
dc.date.available2018-07-19T16:03:11Z
dc.date.issued2014-12-06
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8866
dc.description.abstractDalam upaya pemberantasan korupsi , penerimaan dan pemberian gratifikasi adalah salah satu perbuatan yang sulit dipidana, baik dari segi regulasi, maupun kultur masyarakat Indonesia sementara pemberantasannya masih sangat lamban, padahal korupsi di Indonesia telah dianggap merugikan hak sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia sehigga merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Oleh karena itu, salah satu bentuk penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary enforcement) dan tindakantindakan luar biasa (extra-ordinary measures). Salah satu tindakan tesebut adalah dengan melakukan pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Dengan penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap korupsi gratifikasi di atur dalam pasal 12 B jo. Pasal 12 C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini secara khusus mengatur pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya oleh pegawai publik. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah apa sesungguhnya politik Hukum Pidana yang melatarbelakagi dicantumkan ketentuan sistem pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi grafikasi, bagaimana praktek penegakan hukum tentang penanganan tindak pidana korupsi melalui sistem penerapan pembuktian terbalik, dan bagaimana pengaturan sistem pembuktian terbalik yang dapat menunjang efektifitas pemberantasan tindak pidana korupsi di masa mendatang. Jenis penelitian ini adalah. mengunakan pendekatan yuridis empiris atau yuridis sosiologis. Dalam pendekatan yuridis sosiologis, hukum sebagai law in action, dideskripsikan sebagai gejala sosioal yang emperes. Dengan demikian hukum tidak sekedar di berikan arti sebagai jalinan nilai nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum positif tertulis, tetapi juga dapat di berikan makna sebagai sistem ajaran tentang kenyataan, serta melihat realita yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan pertama, bahwa latar belakang politik hukum pidana mencantumkan ketentuan sistem pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi gratifikasi pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi gratifikasi. Salah satu upaya mengatasi kesulitan tersebut adalah dengan memformulasikan ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan sistem beban pembuktian terbalik. Kedua, praktek penegakan hukum tentang penanganan tindak pidana korupsi melalui sistem penerapan pembuktian terbalik secara empirik sering menghadapi banyak kendala, terutama dalam dalam hal substansi pengertian gratifikasi, pelaporan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana, dan kualifikasi pemberi dan penerima gratifikasi, sehingga optimlisasi penerapan dan penegakan hukum dengan tujuan yang hendak di capai, yaitu kepastian dan keadilanen_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectKebijakan Hukum Pidanaen_US
dc.subjectGratifikasien_US
dc.subjectSistem Pembuktian Terbaliken_US
dc.titleKEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI GRATIFIKASI MELALUI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIKen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record