PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN PESAWAT
Abstract
Tanggung jawab Maskapai Penerbangan terhadap penumpang bisa dianalisis dari
dua persepektif yakni persperktif Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-
Undang Penerbangan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya memberikan
pengaturan secara normatif saja mengenai tanggung jawab pelaku usaha kepada
konsumen, Undang- Undang Penerbangan sebagai undang-undang yang mengatur secara
khusus mengenai tanggung jawab penerbangan seharusnya menjadi dasar hukum hakim
untuk menjatuhkan putusan terkait dengan pembatalan penerbangan. Bahwa dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 1391 K/Pdt/2011 hakim masih menggunakan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sebagai dasar pertimbangan hukum hakim.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
mengeksplorasi masalah hukum dalam masyarakat dengan pendekatan hukum positif
dan prinsip-prinsip hukum. Sebagai penelitian normatif, penelitian ini didasarkan pada
penelitian dengan memeriksa data sekunder yang ada sebagai data literatur
menggunakan penalaran deduktif dan kriteria koheren validitas.
Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa Pertama, bentuk tanggung
jawab atas keterlambatan penerbangan sebenarnya sudah diakomodasi dengan berlakunya
UU No.1 tahun 2009 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang
Kewajiban Pengangkut Angkutan Udara. Dalam Pasal 11 dan 12 Keputusan Menteri
Perhubungan 77 tahun 2011 telah dibentuk secara lebih rinci dan menguraikan sanksi pada
maskapai dalam kasus penundaan dan / atau pembatalan penerbangan. Kedua,
penyelesaian sengketa konsumen untuk penerbangan keterlambatan dalam hal UU No.1
tahun 2009 tentang penyelesaian sengketa telah ditetapkan berdasarkan Pasal 23 dari
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011, yang mengatur jika
penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga tidak puas dengan kompensasi
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 dapat
menuntut melalui Pengadilan Negeri di wilayah Republik Indonesia atau melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan undang-undang lain. Ketika dianalisis
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, telah diatur oleh Pasal 23 Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Pengusaha yang menolak atau tidak
merespon atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan (4), dapat digugat oleh Badan
Penyelesaian Sengketa ("BPSK") atau diserahkan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Dalam menyelesaikan sengketa keterlambatan sudah dapat diakomodir oleh UUP
tanpa harus menggunakan UUPK. Sehingga sebaiknya Majelis hakim harus menggunakan
asas lex specialis derogat legi generali terhadap kasus sengketa antara penumpang dan
maskapai atas keterlambatan penerbangan.
Collections
- Master of Law [1445]