ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN (Studi Kasus : Konflik Tanah Di Blok Gunung Cibuluh, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Ciamis, Jawa Barat)
Abstract
Konflik hak atas tanah antara masyarakat dan Perum Perhutani menjadi
penyebab konflik dalam kawasan hutan. Masyarakat merasa bahwa penguasaan
tanah yang mereka lakukan pemberian orang tua terdahulu. Di pihak lain
Perhutani merasa bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan berdasarkan
Berita Acara Tapal Batas Tahun 1940. Upaya penyelesaian dengan jalan tukar
menukar tidak menemukan penyelesaian. Persoalan tersebut menunjukan bahwa
penguasaan tanah dan penguasaan hutan tidak mendapatkan kepastian.
Atas dasar persoalan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui dasar hukum masyarakat melakukan penguasaan tanah, mengetahui
status tanah pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor
280/Menhut-IV/1998 tentang tukar menukar kawasan hutan. Terakhir tujuan
penelitian ini adalah mengetahui hambatan apa yang dialami masyarakat memiliki
hak atas tanah. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian
yuridis empiris.
Hasil dari penelitian ini adalah penguasaan tanah yang dilakukan masyarakat
didasarkan atas hasil membuka hutan orang tua mereka, yang kemudian
diturunkan kepada generasi berikutnya. Penguasaan tersebut berlangsung lama
sehingga meyakinkan masyarakat bahwa tanah yang mereka kuasai adalah hak
milik yang timbul berdasarkan hukum adat. Pasca berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) kedudukan hukum adat masih dipertahankan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 5 UUPA.
Status tanah pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 280/Menhut-IV/1998 perihal tukar menukar kawasan hutan adalah tanah
negara, hal ini didasarkan pada kedudukan hutan Gunung Cibuluh sebagai hutan
cadangan. Selain hal tersebut, status sebagai tanah negara diperkuat oleh data
yang tercatat di Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, menerangkan sebagian
kawasan Gunung Cibuluh merupakan bekas perkebunan berdasarkan Surat Ukur
Nomor 75 Tahun 1927 dan Surat Ukur Nomor 76 Tahun 1927.
Faktor yang menghambat masyarakat memiliki hak atas tanah adalah adanya
konflik kewenangan, hal ini terjadi karena Departemen Kehutanan dan Badan
Pertanahan sama-sama memiliki kewenangan mengatur tanah Gunung Cibuluh,
selain itu terdapat konflik kepentingan antara masyarakat dan Perum Perhutani,
Perum Perhutani memiliki kepentingan untuk melindungi hutan dan peningkatan
pendapatan serta kepentingan masyarakat untuk memperoleh manfaat yaitu
sumber penghidupan di atas tanah Gunung Cibuluh. Faktor yang lain adalah
konflik regulasi antara hukum adat dan hukum positif, pendekatan negara yang
tidak memberikan ruang terhadap eksistensi hukum adat menjadikan masyarakat
sulit memperoleh hak atas tanah.
Collections
- Master of Law [1445]