Show simple item record

dc.contributor.authorAufi Imaduddin, 12912108
dc.date.accessioned2018-07-16T10:23:55Z
dc.date.available2018-07-16T10:23:55Z
dc.date.issued2014-06-07
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8632
dc.description.abstractDi Indonesia pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah lembaga independen bernama KomisiYudisial. Namun dalam perkembangannya kewenangan lembaga ini telah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam salah satu poin putusannya adalah bahwa pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dibatalkan. Dampaknya pada Oktober 2013, terjadi kasus suap yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu muncul kembali gagasan untuk mengembalikan kewenagan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014, namun undang-undang tersebut hanya bertahan dua bulan karena telah dibatalkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini akan membahas tentang pertama, apa urgensi pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, kedua, mengapa pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dibatalkan, dan ketiga, bagaimana urgensi pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial pasca dibatalkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang akan meneliti secara kritis tentang urgensi pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial pasca dibatalkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 oleh Mahkmah Konstitusi ditinjau dari teori-teori hukum, asas-asas hukum, sistematika hukum serta sejarah hukum. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, pengawasan merupakan suatu hal yang urgen dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang sedang menglami krisis kepercayaan publik, hal yang sangat mendasar dari urgensi pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah untuk menjaga dan membatasi independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri, agar tidak menjadi suatu tirani kekuasaan kehakiman, karena pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujua nmencegah absolutism kekuasaan, kesewenangwenangan dan penyalahgunaa nwewenang. Kedua,alasan dari dibatalkannya wewenang pengawasan Komisi Yudisial adalah karena Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisial mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda, Undang-Undang Komisi Yudisial terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam Undang-Undang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigm konseptual yang tidak tepat. Ketiga, menjadi sangat urgen bagi hakim Mahkamah Kosntitusi untuk mendapatkan pengawasan kembali oleh Komisi Yudisial, hal itu untuk mencegah terjadinya kembali penyalahgunaan kewenangan, karena mekanisme pengawasan hakim yang ideal menurut Undang- Undang Dasar 1945 harus melibatkan lembaga independen diluar lembaga itu sendiri, dan KomisiYudisial adalah lembaga yang mendapat amanat dari UUD 1945 untuk melakuka npengawasan secara independen terhadap pelaksannaan kekuasaan kehakiman, sehingga menjadi paling tepat bahwa pengawasan eksternal terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial.en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.titlePENGAWASAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN (Studi Tentang Urgensi Pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi Oleh Komisi Yudisial Pasca Dibatalkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record