Show simple item record

dc.contributor.authorAHMAD ABRARI, 14912011
dc.date.accessioned2018-07-13T21:19:38Z
dc.date.available2018-07-13T21:19:38Z
dc.date.issued2016-01-24
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8534
dc.description.abstractMekanisme pemilihan Hakim Agung sempat mengalami inkonstitusional. Berdasarkan kehendak eksplisit UUD 1945, DPR hanya bertugas memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diajukan KY. Namun faktanya, DPR pernah menyimpang dari aturan konstitusional tersebut, dengan melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Hakim Agung, walaupun KY sudah melakukannya. Tindakan inkonstitusional DPR tersebut sudah diluruskan oleh MK melalui putusannya Nomor. 27/PUU-XI/2013. MK mengembalikan proses pemilihan Hakim Agung di DPR tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945. Yaitu DPR hanya berwenang memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diajukan KY, dan tidak lagi melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Proses Inilah yang dumaksud rekonstruksi mekanisme pemilihan hakim agung. Putusan MK tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan, sehingga pertimbangan putusan MK tersebut patut dianalisis. Meski sudah ada perbaikan, mekanisme pemilihan Hakim Agung masih jauh dari konsep idealnya. Dalam rangka mencari konsep ideal tersebut, maka dirasa perlu melakukan studi perbandingan dengan beberapa negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum positif dengan menggunakan tiga metode pendekatan; pendekatan Undang-undang, yaitu menelusuri bahan-bahan pustaka dan Putusan MK. Pendekatan hitoris (historical approach) dingunakan bertujuan mengungkap sejarah perjalanan mekanisme pemilihan hakim di Indonesia. Terakhir adalah Pendekatan komparatif, dengan melakukan telaah terhadap beberapa sistem yang digunakan untuk memperoleh persamaan dan perbedaan mengenai mekanisme pemilihan calon hakim agung yang berlaku di berbagai negara. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, agar ketentuan kedua Undang-Undang di atas tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut Mahkamah kata “dipilih” oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai sebagai “persetujuan”. Jabatan Hakim Agung di Indonesia bukanlah jabatan politik, dalam prosesnya sangat menekankan pada aspek kualifikasi profesional, akan tetapi pertimbangan politik tidak dapat dihindari. Keterlibatan DPR dalam proses tersebut sebagai perwujudan dari penguatan legitimasi Rakyat. Konsep mekanisme pemilihan hakim agung di Indonesia dimasa mendatang di perlukan pembaharuan serta pemilihan harus didasarkan pada aspek demokrasi yang merujuk pada nilai-nilai dasar demokrasi (aspek substantif) yang merefleksikan nilai-nilai moralitas, keadilan, reasonableness dan itikad baik (good faith). bukan sekedar memilih judge, melainkan justice.en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.subjectRekonstruksien_US
dc.subjectMekanismeen_US
dc.subjectPemilihanen_US
dc.subjectIdealen_US
dc.subjectHakim Agungen_US
dc.subjectKYen_US
dc.subjectMKen_US
dc.subjectDPRen_US
dc.titleREKONSTRUKSI MEKANISME PEMILIHAN HAKIM AGUNG (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 27/PUU-XI/2013 dan Perbandingan di Berbagai Negara)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record