dc.description.abstract | Mekanisme pemilihan Hakim Agung sempat mengalami inkonstitusional.
Berdasarkan kehendak eksplisit UUD 1945, DPR hanya bertugas memberikan
persetujuan calon Hakim Agung yang diajukan KY. Namun faktanya, DPR
pernah menyimpang dari aturan konstitusional tersebut, dengan melakukan uji
kelayakan dan kepatutan terhadap calon Hakim Agung, walaupun KY sudah
melakukannya. Tindakan inkonstitusional DPR tersebut sudah diluruskan oleh
MK melalui putusannya Nomor. 27/PUU-XI/2013. MK mengembalikan proses
pemilihan Hakim Agung di DPR tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945. Yaitu
DPR hanya berwenang memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang
diajukan KY, dan tidak lagi melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Proses Inilah
yang dumaksud rekonstruksi mekanisme pemilihan hakim agung. Putusan MK
tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan, sehingga pertimbangan putusan
MK tersebut patut dianalisis. Meski sudah ada perbaikan, mekanisme pemilihan
Hakim Agung masih jauh dari konsep idealnya. Dalam rangka mencari konsep
ideal tersebut, maka dirasa perlu melakukan studi perbandingan dengan beberapa
negara.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum positif dengan menggunakan tiga
metode pendekatan; pendekatan Undang-undang, yaitu menelusuri bahan-bahan
pustaka dan Putusan MK. Pendekatan hitoris (historical approach) dingunakan
bertujuan mengungkap sejarah perjalanan mekanisme pemilihan hakim di
Indonesia. Terakhir adalah Pendekatan komparatif, dengan melakukan telaah
terhadap beberapa sistem yang digunakan untuk memperoleh persamaan dan
perbedaan mengenai mekanisme pemilihan calon hakim agung yang berlaku di
berbagai negara.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak
sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, agar ketentuan kedua
Undang-Undang di atas tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut
Mahkamah kata “dipilih” oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus dimaknai
“disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4)
UU MA harus dimaknai sebagai “persetujuan”.
Jabatan Hakim Agung di Indonesia bukanlah jabatan politik, dalam prosesnya
sangat menekankan pada aspek kualifikasi profesional, akan tetapi pertimbangan
politik tidak dapat dihindari. Keterlibatan DPR dalam proses tersebut sebagai
perwujudan dari penguatan legitimasi Rakyat.
Konsep mekanisme pemilihan hakim agung di Indonesia dimasa mendatang di
perlukan pembaharuan serta pemilihan harus didasarkan pada aspek demokrasi
yang merujuk pada nilai-nilai dasar demokrasi (aspek substantif) yang
merefleksikan nilai-nilai moralitas, keadilan, reasonableness dan itikad baik
(good faith). bukan sekedar memilih judge, melainkan justice. | en_US |