Show simple item record

dc.contributor.authorRohman, Kholiq Hadi
dc.date.accessioned2024-03-25T06:59:16Z
dc.date.available2024-03-25T06:59:16Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.uridspace.uii.ac.id/123456789/48576
dc.description.abstractKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang memiliki tugas khusus berdasarkan UUD 1945 dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun dalam praktiknya lembaga seperti KPK seringkali mengalami pelemahan baik dari dalam maupun luar institusional. Atas dasar inilah praktik pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berjalan secara maksimal, sehingga di perlukan ide terobosan pembaharuan dalam mengatur kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam penelitian ini terdapat dua rumuan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, pertama, mengapa Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meletakkan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi bagaian daripada kekuasaan Eksekutif? Kedua, apa urgensi konstitusionalitas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai organ konstitusi dalam UUD 1945? Jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunkan pendekatan Undang-Undang, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, yakni semua aturan hukum yang berkaitan dengan konstitusionalitas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai organ konstitusi dalam UUD 1945 dan bahan hukum sekunder berupa jurnal, buku, dan karya ilmiah terkait. Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dengan metode studi pustaka dan analisa secara deskriptif-kualitatif. Adapun hasil daripada penelitian ini menunjukan, pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 hasil perubahan yang meletakkan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai kekuasaan eksekutif adalah upaya untuk menormalisasi tata konstitusional sesuai dengan doktrin trias politica selama ini di terapkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang membagi cabang kekuasaan menjadi tiga cabang yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Meskipun undang-undang KPK hasil revisi kedua masih memiliki perdebatan secara akademik maupun perdebatan secara yuridis. Alasan Pemerintah dan lembaga pembuat undang-undang meletakkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai cabang kekuasaan eksekutif adalah untuk mencegah adanya potensial yang melahirkan kewenangan absolute dalam suatu lembaga negara. Kedua, urgensitas meletakkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai organ Konstitusi dalam UUD 1945 akan memberikan jaminan bahwa: Pertama, terciptanya keadilan atas hukum pemberantasan korupsi, kepastian atas hukum kedudukan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan kemanfaatan atas hukum Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai the guardian of constitutions from dangers of corruption. Kedua, kedudukan KPK tidak mudah untuk di intervensi, tidak mudah untuk di lemahkan dan/atau bahkan di bubarkan oleh penguasa yang tidak memiliki semangat anti korupsi. Ketiga, untuk menjimin kerja-kerja KPK dengan lancar tanapa adanya krikil-krikil penghambat semangat anti korupsi. Keempat, dibutuhkan political will atau komitmen dukungan bersama antara pemerintah dan pembuat peraturan perundang-undangan untuk menjadikan KPK sebagai lembaga anti korupsi berdasarkan UUD 1945.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectKomisi Pemberantaan Korupsien_US
dc.subjectKorupsien_US
dc.subjectKonstitusien_US
dc.subjectUUD 1945en_US
dc.titleKonstitusionalitas Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Organ Konstitusi dalam Undang-undang Dasar 1945en_US
dc.typeThesisen_US
dc.Identifier.NIM20912029


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record