Show simple item record

dc.contributor.authorWahyuono, Firman Tri
dc.date.accessioned2024-02-21T01:15:35Z
dc.date.available2024-02-21T01:15:35Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/47574
dc.description.abstractPenelitian ini dilatarbelakangi atas kebutuhan korban untuk menuntut ganti kerugian, sedangkan mekanisme restitusi dan kompensasi yang ada penggunaannya terbatas untuk jenis korban tindak pidana tertentu. Penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam Pasal 98 – 101 KUHAP menjadi mekanisme yang dapat digunakan korban secara umum untuk menuntut ganti kerugian. Faktanya, mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian memiliki banyak kelemahan. Selain itu, RUU KUHAP justru menghilangkan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundangan – undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Rumusan masalah penelitian adalah: apa urgensi reformulasi regulasi penggabungan gugatan ganti kerugian dalam hukum acara pidana? dan bagaimana desain regulasi ideal penggabungan gugatan ganti kerugian dalam hukum acara pidana?. Hasil penelitian ini: 1) mekanisme kompensasi dan restitusi yang diatur secara sektoral dalam undang – undang tertentu tidak dapat digunakan korban tindak pidana secara umum untuk menuntut ganti kerugian; 2) ketentuan bahwa korban yang berhak mendapat restitusi akan ditetapkan dengan keputusan LPSK akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi korban tindak pidana; 3) ketentuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang masih banyak kelemahan; 4) guna mewujudkan perlindungan korban tindak pidana dalam model hak – hak prosedural (procedural right model) menjadi urgensi melakukan reformulasi regulasi penggabungan gugatan ganti kerugian. Dalam gagasan regulasi ideal, perlu pengecualian keberlakuan asas actor sequitor forum rei (gugatan diajukan di pengadilan tempat tergugat tinggal), karena akan bertentangan dengan tujuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dan asas peradilan cepat, sederhana biaya murah jika gugatan diajukan di pengadilan tempat tergugat tinggal, sedangkan perkara pidananya tidak diadili disana. Korban tindak pidana direkomendasikan mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) kepada terdakwa (tergugat) guna menjamin pembayaran ganti kerugian. Terhadap terdakwa (tergugat) yang tidak mampu, korban tindak pidana dapat mendudukkan negara sebagai pihak yang turut digugat atau yang harus tunduk pada putusan untuk menjamin pembayaran ganti kerugian. Hal ini didasarkan pada 3 (tiga) prinsip perlindungan dalam hukum HAM, teori kontrak sosial, Pasal 28 huruf G ayat (1) UUD 1945, fungsi Kepolisian dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa negara wajib melindungi warga negaranya. Jika terjadi tindak pidana dan menimbulkan korban, dalam teori states failure to protect victim negara dikatakan gagal melindungi. Kegagalan ini berdasarkan kajian Governmental liability dalam teori tanggung gugat serta yurisprudensi arrest tahun 1919 adalah Perbuatan Melawan Hukum. Penelitian ini menyarankan dilakukan reformulasi regulasi penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan didasarkan pada prinsip perlindungan kepentingan yang berimbang (daad-daderstrafrecht) dan mengedepankan asas perlindungan korban yaitu: asas manfaat, keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectReformulasien_US
dc.subjectPenggabungan Perkaraen_US
dc.subjectGugatan Ganti Rugien_US
dc.subjectKorban Tindak Pidanaen_US
dc.titleReformulasi Regulasi Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dalam Hukum Acara Pidanaen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record