dc.description.abstract | Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki hak-hak yang harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan juga diskriminasi yang dilakukan oleh
orang lain. Arus perkembangan globalisasi yang cukup pesat ini mendorong
kemudahan akses terhadap informasi serta teknologi dalam hal ini media sosial.
Penggunaan media sosial ini ternyata menciptakan permasalahan hukum, yaitu
pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual di media sosial ini dapat berupa
komentar, tindakan, dan penipuan terhadap anak berupa pelecehan secara fisik
maupun nonfisik. Adapun rumusan masalah yang dibuat yaitu apa saja kelemahan
dari ketentuan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
pelecehan sosial di media sosial sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan apakah UndangUndang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah
memberikan perlindungan hukum yang ideal bagi anak yang menjadi korban dari
tindak pidana pelecehan seksual di media sosial. Penelitian ini menggunakan
tipologi penelitian berupa hukum normatif berkaitan dengan norma, asas,
peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya dikaitkan dengan
permasalahan hukum yang diteliti. Pendekatan penelitian yang dilakukan berupa
pendekatan perundangan-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Hasil penelitian yang diteliti bahwa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak merupakan peraturan yang berlaku terlebih dahulu,
bahwa kelemahan dari ketiga peraturan ini adalah masih bersifat umum, dan
belum menjelaskan secara spesifik mengenai perbuatan/tindakan pelecehan yang
dilakukan dalam media sosial dan mengenai ganti kerugian yang tidak diatur
dalam undang-undang serta tidak mengatur restitusi yang tidak mampu dibayar
oleh pelaku. Terkait Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual ini memberikan angin segar bagi peraturan di
Indonesia, bahwa adanya pengaturan mengenai tindak pidana pelecehan seksual
nonfisik, adanya pengaturan penggantian restitusi dalam undang-undang ini, dan
terdapat pengaturan mengenai restitusi yang tidak mampu dibayar oleh pelaku.
Penelitian ini mengemukakan beberapa saran bahwa adanya sikap saling menjaga
dan berkoordinasi diantara lingkup orang tua, pergaulan dan pendidikan anak
dengan melakukan pengawasan secara ketat; Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan Pemerintah dapat saling konsisten dalam pemberian perlindungan anak
yang menjadi korban dari tindak pidana pelecehan seksual; serta memberikan
ruang fasilitas bagi anak untuk mampu menceritakan peristiwa yang dialaminya. | en_US |