dc.description.abstract | Diskursus video game berkembang sangat pesat sejak tahun 90an hingga
sekarang. Namun sayangnya, di Indonesia diskursus video game masih belum begitu
berkembang. Dalam Ilmu Komunikasi sendiri, beberapa penelitian sudah mengangkat tema
video game, umumnya dalam analisis semiotika. Tetapi, kebanyakan analisis semiotika itu
hanya terbatas pada dimensi audiovisual-naratif saja, mengabaikan satu dimensi yang unik
dari video game yaitu game design. Dimensi game design sendiri berfokus pada aspek
formal sebuah video game seperti rules dan game mechanic dimana Frasca (1999) dan Ian
Bogost (2007, 2008) berargumen bahwa itu semua memiliki potensi pemaknaan. Peneliti
merasa penting untuk melihat kedua dimensi itu untuk melihat video game secara holistik.
Penelitian ini kemudian memilih video game Assassin’s Creed III sebagai subjek penelitian
untuk menjawab pertanyaan mengapa Templar dan Nilai-Nilai yang diyakini mereka
dianggap jahat?, serta Nilai-Nilai apa yang dianggap “jahat” oleh game developer Ubisoft
dalam seri Assassin’s Creed?, dan Apa yang membuat seseorang itu menjadi “villain”?
Hasilnya, dari dimensi naratif, Ubisoft menyiratkan bahwa “jahat” merupakan sebuah
gagasan (notion) yang dapat muncul dari kelompok apapun jika mereka tidak sadar diri.
Notion tersebut adalah, Ekstremisme, Kolonialisme, Kediktatoran, Tirani, Penindasan, dan
Kemunafikan (Hypocrisy). Sedangkan, dimensi game design kemudian mendukung
argumen itu dari rule dan game mechanic yang diimplementasikan dalam game. Ini
menunjukkan pentingnya melihat kedua dimensi itu ketika menganalisis video game
karena keduanya dapat saling bersinergi. | en_US |