PENERAPAN KONSEP NON-CONVICTION BASED ASSET FORFEITURE DITINJAU DARI ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA
Abstract
Gagasan penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji penerapan non-
conviction based asset forfeiture yang diterapkan pada perampasan aset tindak
pidana sebagai upaya revitalisasi kerugian negara yang kemudian ditinjau dari
asas praduga tak bersalah serta perlindungan hak tersangka. Hal tersebut
dilatarbelakangi atas berbagai bentuk urgensi permasalahan. Pertama,
Berkembanya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, tidak selamanya
berdampak positif, di satu sisi perkembangan tersebut berdampak negatif, seperti
berkembangnya tindak pidana dari yang bersifat konvensional kepada tindak
pidana yang bersifat terorganisasi dan transnasional. Kedua, Atas
berkembangnya tindak pidana, maka muncul terobosan baru yang digaungkan
dalam United Nations Convention Against Corruption atau Konvensi PBB
Menentang Korupsi pada tahun 2003 yakni Perampasan aset tanpa pemidanaan
(Non-conviction based asset forfeiture) yang merupakan mekanisme hukum yang
memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh pelaku kejahatan
dimungkinkan untuk dirampas kembali. Ketiga, atas di gagasnya mekanisme non-
conviction based asset forfeiture , selanjutnya muncul kontroversi, dimana saat
seorang tersangka masih menjalani persidangan pidana, aset yang patut diduga
berkaitan langsung dengan kasus pidananya dapat di kuasai oleh negara
seluruhnya untuk kepentingan asset recovery.
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif yuridis dengan
pendekatan konseptual. Normatif yuridis dilakukan dengan penelitian studi
literatur, analisis peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu serta data
pendukung yang berhubungan dengan Non-conviction based asset forfeiture, asas
praduga tak bersalah, dan perlindungan hak tersangka guna menjawab
permasalahan yang tergambar dalam rumusan masalah.
Teriakit kontroversi antara NCB dengan asas praduga tak berslaah dan
perlindungan hak tersangka, ketiganya tidak saling melanggar karena dilakukan
dengan prosedur yang ditetapkan dalam RUU perampasan aset dengan ketat,
sehingga NCB dilakukan dengan kondisi tertentu saja. Standar pembuktiannya
lebih rendah daripada standar pembuktian pidana secara in personam. Selain
standar pembuktiannya lebih rendah, durasi yang dihabiskan juga lebih singkat
dalam proses in rem. Pemberlakuan NCB pada sistem peradilan indonesia sudah
selayaknya dilakukan mengingat banyak sekali keresahan yang hadir tanpa solusi
sebelumnya. Kemudian ketika lahir menusia merupakan pribadi dengan hak yang
utuh namun ketika manusia tersebut melakukan kesalahan maka negara berhak
untuk mengurangi bahkan mengambil haknya untuk kepentingan bersama.
Hak atas harta yang terdapat dalam konstitusi tidak terapat keterkaitan
dnegan NCB karena terdapat pembatasan yang tertuang dalam UU No.39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan pembatasan hak berupa
kepentingan bangsa. Kemudian NCB harus menjadi pertimbangan dalam
penerimaan dan pelaksanaan dalam legislasi. Pendapat Komisi HAM Eropa
dapat menjadi pertimbangan bahwa dengan tetap terpenuhinya asas due process
of rights yakni dengan adanya kesempatan banding dan upaya hukum lainnnya
sehingga NCB tidak bertentangan dengan HAM dan constitutional rights.
Collections
- Law [2307]