Show simple item record

dc.contributor.advisorAri Wibowo S.HI., S.H., M.H.
dc.contributor.authorANI SARAH LAILI, 15410068
dc.date.accessioned2019-01-17T07:40:06Z
dc.date.available2019-01-17T07:40:06Z
dc.date.issued2018-12-13
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/12945
dc.description.abstractGagasan penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji penerapan non- conviction based asset forfeiture yang diterapkan pada perampasan aset tindak pidana sebagai upaya revitalisasi kerugian negara yang kemudian ditinjau dari asas praduga tak bersalah serta perlindungan hak tersangka. Hal tersebut dilatarbelakangi atas berbagai bentuk urgensi permasalahan. Pertama, Berkembanya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, tidak selamanya berdampak positif, di satu sisi perkembangan tersebut berdampak negatif, seperti berkembangnya tindak pidana dari yang bersifat konvensional kepada tindak pidana yang bersifat terorganisasi dan transnasional. Kedua, Atas berkembangnya tindak pidana, maka muncul terobosan baru yang digaungkan dalam United Nations Convention Against Corruption atau Konvensi PBB Menentang Korupsi pada tahun 2003 yakni Perampasan aset tanpa pemidanaan (Non-conviction based asset forfeiture) yang merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh pelaku kejahatan dimungkinkan untuk dirampas kembali. Ketiga, atas di gagasnya mekanisme non- conviction based asset forfeiture , selanjutnya muncul kontroversi, dimana saat seorang tersangka masih menjalani persidangan pidana, aset yang patut diduga berkaitan langsung dengan kasus pidananya dapat di kuasai oleh negara seluruhnya untuk kepentingan asset recovery. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif yuridis dengan pendekatan konseptual. Normatif yuridis dilakukan dengan penelitian studi literatur, analisis peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu serta data pendukung yang berhubungan dengan Non-conviction based asset forfeiture, asas praduga tak bersalah, dan perlindungan hak tersangka guna menjawab permasalahan yang tergambar dalam rumusan masalah. Teriakit kontroversi antara NCB dengan asas praduga tak berslaah dan perlindungan hak tersangka, ketiganya tidak saling melanggar karena dilakukan dengan prosedur yang ditetapkan dalam RUU perampasan aset dengan ketat, sehingga NCB dilakukan dengan kondisi tertentu saja. Standar pembuktiannya lebih rendah daripada standar pembuktian pidana secara in personam. Selain standar pembuktiannya lebih rendah, durasi yang dihabiskan juga lebih singkat dalam proses in rem. Pemberlakuan NCB pada sistem peradilan indonesia sudah selayaknya dilakukan mengingat banyak sekali keresahan yang hadir tanpa solusi sebelumnya. Kemudian ketika lahir menusia merupakan pribadi dengan hak yang utuh namun ketika manusia tersebut melakukan kesalahan maka negara berhak untuk mengurangi bahkan mengambil haknya untuk kepentingan bersama. Hak atas harta yang terdapat dalam konstitusi tidak terapat keterkaitan dnegan NCB karena terdapat pembatasan yang tertuang dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan pembatasan hak berupa kepentingan bangsa. Kemudian NCB harus menjadi pertimbangan dalam penerimaan dan pelaksanaan dalam legislasi. Pendapat Komisi HAM Eropa dapat menjadi pertimbangan bahwa dengan tetap terpenuhinya asas due process of rights yakni dengan adanya kesempatan banding dan upaya hukum lainnnya sehingga NCB tidak bertentangan dengan HAM dan constitutional rights.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.subjectNon-Conviction Based Asset Forfeitureen_US
dc.subjectAsas Praduga Tak Bersalahen_US
dc.subjectPerlindungan Hak Tersangkaen_US
dc.titlePENERAPAN KONSEP NON-CONVICTION BASED ASSET FORFEITURE DITINJAU DARI ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKAen_US
dc.typeUndergraduate Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record