Show simple item record

dc.contributor.authorMainur, Rival Aggriawan
dc.date.accessioned2016-11-08T04:06:46Z
dc.date.available2016-11-08T04:06:46Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/996
dc.descriptionDosen pembimbingen_US
dc.description.abstractReformasi pada 21 Mei 1998 merupakan langkah awal suatu bangsa untuk menatap sekaligus menata masa depan tanpa harus dibayang-bayangi hutang kemanusiaan pada masalalu. Pijakan awal yang dimaksud adalah langkah nyata suatu pemerintah dalam menyelesaikan pelbagai peristiwa yang mendera suatu negara pada masa lalu. Diantaranya peristiwa pembantaian PKI pada tahun (1965-1966), Tanjung Priok (1984), Talang Sari Lampung (1989),Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Kerusuhan Mei (1998, Trisakti (1998), Semanggi 1 (1998) dan Semanggi 11 (1999), Timor-Timur (1999), Pelbagai peristiwa masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida; tujuan dalam penulisan ini; Pertama, bagaimana mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM di Indonesia. Kedua, mekanisme apakah yang tepat dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM di Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis yang mengkaji aturan hukum serta melakukan analisis empirik. Penyelesaian pelanggaran berat HAM masalalu secara yuridis diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, diketahui dari beberapa peristiwa baru dua kasus yang sudah diadili namun hasil dari pengadilan HAM adhoc kurang memuaskan, karena dalam putusan pengadilan HAM adhoc para pelaku mendapatkan putusan bebas. Kegagalan tersebut dikarenakan dalam proses pembentukan sampai proses implementasi pengadilan HAM adhoc selalu mengalami kendala. Menurut Mahfud MD kendala yang dihadapi, pertama bersifat politis, kedua, kendala teknis prosedural dan ketiga tantangan dari kelompok masyarakat tertentu, termasuk sebagian korban atau keluarga korban yang tidak menginginkan mengunkit kembali kasus masalalu, dengan alasan hanya membuka lama, mereka menyerukan lebih baik melihat kedepan, bukan menengok kebelakan. Oleh sebab itu, untuk menjawab dimana peran pemerintah dalam hal pertanggungjawaban negara untuk menyelesaikan kasus tersebut, maka diterbitkannya Undang-undang No.27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kendati demikian, sebelum direalisasikan undang-undang tersebut dibatalkan oleh mahkamah konstitusi. Sehingga pada proses penyelesaian masalalu hanya menjadi wacana dan tertuda. Meskipun diketahui beberapa Negara telah mencoba menggunakan komisi serupa dan terbilang sukses diantaranya; Afrika Selatan, Chili, Argentina, dan Timor-Timur. Sehingga dalam penyelesaian kedepan perlu dibentuk satu komisi serupa agar negara ini terlepas dari hutang kemanusiaan dan bisa menata masa depan tanpa dihantui beban sejarah.en_US
dc.description.sponsorshipMarzuki, Suparmanen_US
dc.publisherUII Yogyakartaen_US
dc.relation.ispartofseriesTugas akhir;14912004
dc.subjectPelanggaran Berat HAMen_US
dc.subjectYudisialen_US
dc.subjectNon Yudisial.en_US
dc.titleMekanisme Penyelesaian Pelanggaran Berat Ham Masa Lalu di Indonesiaen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record