dc.description.abstract | Untuk memulihkan keterpurukan sektor perbankan nasional akibat krisis
moneter dan krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997, Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral memfmgsikan perannya sebagai lender of last resort,dimana BI dapat
memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam
keadaan darurat.
Problem yang timbul kemudian adalah mengenai pelaksanaan penyaluran dan
penggunaan serta pengembalian utang dana BLBI yang dikucurkan oleh Bank Indonesia
kepada bank-bank penerima kredit BLBI. Sebagai negara hukurn, tentunya baik dalam
melaksanakan penyaluran maupun penggunaan serta pengembalian utang dana BLBI
tentunya hams sesuai prosedur atau mekanisme yang telah ditentukan atau diatur oleh
hukurn, sehingga ketika timbul masalah parameter penyelesaiannya juga hams
berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam relaitasnya baik dalam
penyaluran maupun penggunaannya ternyata terdapat penyimpangan atau pelanggaran
terhadap hukum. Bahkan dalam penyelesaian atau pengembalian utang BLBI juga terjadi
penyimpangan dan pelanggaran hukum pula.
Penyelesaian atau pengembalian utang BLBI melalui mekanisme Master
Settlement and Acqlrisition Agreement (MSAA) dengan klausula Release and Discharge
adalah salah model yang paling menirnbulkan kontroversi dalam perspektif hukum. Oleh
karenanya fokus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji apakah dalam
perspektif hukum model penyelesaian BLBI tersebut dapat dibenarkan secara hukum.
Berdasarkan penelitian, diperoleh gambaran yang jelas bahwa, penyelesaian
atau pengembalian utang BLBI melalui mekanisme Master Settlement and Acquisition
Agreement (MSAA) dengan klausula Release and Discharge, secara hukum tidak dapat
dibenarkan, bahkan dikategorikan batal demi hukum, karena dari keabsahannya maupun
dari isi dan pelaksanaannya ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Akibat diterapkannya kebijakan MSAA dan klausula R & D tersebut,
penegakan hukum dalam penyelesaian utang BLBI , menjadi sangat terhambat bahkan
terjadi kebuntuan, terlebih diperparah dengan ketidak seriusan para penegak hukurn serta
adanya indiii kuat terjadinya korupsi dalam proses penegakan hukum ksus-kasus
korupsi BLBI.
Alternatif solusi dalam penyelesaian atau pengembalian utang BLBI, selain
dicabut kebijakan Release and Discharge, adalah difmgsikannya hak prerogratif
Presiden yaitu pemberian grasi (pengampunan) terhadap koruptor BLBI yang sudah
divonis bersalah dan sdh berkekuatan hukum tetap, serta sanggup mengembalikan
seluruh hasil korupsinya. Kemudian proses hukum terhadap kasus-kasus korupsi BLBI
yang bermasalah tersebut, sesuai wewenang KPK, segera diambil alih oleh KPK untuk
proses penyidikan dan penuntutannya. | en_US |