dc.description.abstract | Pemberian informasi sangat diperlukan bagi akseptor Keluarga Berencana sebelum
melakukan penandatanganan formulir informed consent, karena sebelumnya pasien hams
mengetahui secara rinci mengenai berbagai macam alat kontrasepsi beserta dampak positif
dan dampak negatihya. Narnun, berbicara tentang informed consent, biasanya yang
dibayangkan dan seringkali dikacaukan dengan formulir yang hams ditandatangani oleh
pasien atau keluarganya. Seolah-olah artinya sama, padahal artinya tidaklah demikian. Pada
hakekatnya informed consent adalah suatu "proses komunikasi", bukan suatu formulir.
Bentuk formulir itu hanya merupakan perwujudan, pengukuhan atau pendokumentasian
belaka apa yang telah disepakati bersama sewaktu pasien diperiksa dan dimana sudah
terdapat dialog antara dokter dan pasien.
Permasalahaimya adalah, bagaimana apabila dalam proses informed consent kelalaian
berada dari pihak dokter yang tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi dan
menghormati hak pasien (memberikan informed consent). Apakah seorang dokter masih tetap
dapat dimintai pertanggungjawaban setelah adanya penandatanganan formulir informed
consent? , bagaimanakah hak atas informasi diberikan kepada akseptor Keluarga Berencana
melalui informed consent sebelurn pemasangan alat kontrasepsi?, serta perlindungan hukum
yang seperti apa yang diberikan melalui informed consent agar akseptor Keluarga Berencana
dapat terhindar dari dampak negatif dalam penggunaan alat kontrasepsi?
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
menganalisis permasalahan dari sudut pandang menurut ketentuan hukum atau perundangundangan
yang berlaku. Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer,
sekunder dan tersier. Untuk menunjang penelitian hukum normatif ini digunakan juga
wawancara kepada narasurnber seperti akseptor Kelwga Berencana serta tenaga medis
bidang kesehatan. Analisis datanya adalah analitis kualitatif.
Dalam pelaksanaannya hak-hak akseptor KB untuk mendapatkan informasi kurang
terpenuhi. Ada kalanya pasien kurang memahami penjelasan yang diberikan oleh Dokter dan
para tenaga kesehatan. Dokter beranggapan bahwa pasien yang datang kepadanya
sebelumnya telah mengetahui telebih dahulu tentang alat kontrasepsi yang akan digunakan
oleh pasien, sehingga tenaga kesehatan memberikan penjelasan kepada pasien tidak secara
rinci mengenai berbagai macam metode alat kontrasepsi, selain itu tingkat pengetahuan dan
pemaharnan pasien berbeda-beda. Sampai sekarang informed consent belum cukup diserap
substansinya dalam pelaksanaan praktek sehari-hari. Informed consent masih belum begitu
dipahami dan dilaksananan sebagaimana mestinya, karena masih banyak yang menganggap
bahwa penandatanganan formulir informed consent yang telah disediakan hanyalah bersifat
formalitas belaka, sehingga apabila akseptor KB mengalami dampak negatif dari penggunaan
alat kontrasepsi, mereka kesulitan untuk meminta ganti kerugian.
Informasi yang diberikan kepada akseptor Keluarga Berencana harus disampaikan
secara pribadi oleh Dokter atau tenaga kesehatan dalam bahasa yang sederhana, dan dapat
dimengerti oleh pasiennya, sehingga pasien dapat memiliki gambaran jelas untuk mengarnbil
keputusannya. Dokter tidak boleh begitu saja percaya dengan pilihan pasien, karena
pengetahuan pasien tentang alat kontrasepsi pilihannya sangat minim. Dokter hams
menyisakan waktunya untuk tetap memberikan informasi kepada pasien tentang berbagai
macarn alat kontrasepsi beserta resiko yang akan dialami oleh pasien. Formulir infonned
consent hendaknya jangan disalah artikan dan disalahgunakan sebagai suatu pengganti
diskusi antara Dokter dan pasien. Apabila formulir tersebut hanya digunakan untuk
pembelaan legal, maka hubungan antara Dokter dan pasien akan mengalami kemunduran.
Dokter hams menyadari bahwa disamping aspek legal, ada pula aspek psikologis dalarn
kewajiban untuk memberikan informasi. Pemakaian formulir informed consent hams dilihat
sebagai edukasi pasien secara global. Melalui edukasi pasien, maka diharapkan hubungan
Dokter clan pasien akan berkembang menjadi lebih baik dan bisa mengurangi tuntutantuntutan.
Pemberian ganti kerugian kepada akseptor KB hendaknya sesuai dengan kerugian
yang dialami oleh akseptor KB baik secara materiil dan immaterial, selain itu hendaknya
pemberian ganti kerugian tidak terlalu membutuhkan proses yang nunit dan waktu yang
cukup lama. | en_US |