Show simple item record

dc.contributor.authorMahendraputra, Erman
dc.date.accessioned2016-11-03T05:46:13Z
dc.date.available2016-11-03T05:46:13Z
dc.date.issued2015-12-11
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/928
dc.descriptionDosen pembimbingen_US
dc.description.abstractTanggung jawab Maskapai Penerbangan terhadap penumpang bisa dianalisis dari dua persepektif yakni persperktif Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Penerbangan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya memberikan pengaturan secara normatif saja mengenai tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen, Undang-Undang Penerbangan sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab penerbangan seharusnya menjadi dasar hukum hakim untuk menjatuhkan putusan terkait dengan pembatalan penerbangan. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1391 K/Pdt/2011 hakim masih menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai dasar pertimbangan hukum hakim. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengeksplorasi masalah hukum dalam masyarakat dengan pendekatan hukum positif dan prinsip-prinsip hukum. Sebagai penelitian normatif, penelitian ini didasarkan pada penelitian dengan memeriksa data sekunder yang ada sebagai data literatur menggunakan penalaran deduktif dan kriteria koheren validitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa Pertama, bentuk tanggung jawab atas keterlambatan penerbangan sebenarnya sudah diakomodasi dengan berlakunya UU No.1 tahun 2009 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Kewajiban Pengangkut Angkutan Udara. Dalam Pasal 11 dan 12 Keputusan Menteri Perhubungan 77 tahun 2011 telah dibentuk secara lebih rinci dan menguraikan sanksi pada maskapai dalam kasus penundaan dan / atau pembatalan penerbangan. Kedua, penyelesaian sengketa konsumen untuk penerbangan keterlambatan dalam hal UU No.1 tahun 2009 tentang penyelesaian sengketa telah ditetapkan berdasarkan Pasal 23 dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011, yang mengatur jika penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga tidak puas dengan kompensasi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 dapat menuntut melalui Pengadilan Negeri di wilayah Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan undang-undang lain. Ketika dianalisis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, telah diatur oleh Pasal 23 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Pengusaha yang menolak atau tidak merespon atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan (4), dapat digugat oleh Badan Penyelesaian Sengketa ("BPSK") atau diserahkan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa keterlambatan sudah dapat diakomodir oleh UUP tanpa harus menggunakan UUPK. Sehingga sebaiknya Majelis hakim harus menggunakan asas lex specialis derogat legi generali terhadap kasus sengketa antara penumpang dan maskapai atas keterlambatan penerbangan.en_US
dc.description.sponsorshipAnisah, Sitien_US
dc.publisherUII Yogyakartaen_US
dc.relation.ispartofseriesTugas akhir;13912035
dc.subjectPerlindungan Hukumen_US
dc.subjectPenumpangen_US
dc.subjectKeterlambatanen_US
dc.subjectPenerbangan Pesawaten_US
dc.titlePerlindungan Hukum Bagi Penumpang Terhadap Keterlambatan Penerbangan Pesawaten_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record