Show simple item record

dc.contributor.authorSTANLEY HARIMAN WIBISONO, 05912180
dc.date.accessioned2018-07-20T13:58:24Z
dc.date.available2018-07-20T13:58:24Z
dc.date.issued2007-12-31
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9157
dc.description.abstractMasalah-masalah yang berujung pada penyelesaian secara hukum merupakan suatu kenyataan bagi pihak-pihak yang berkecimpung didunia konstruksi. Umumnya, masalah konstruksi dapat diselesaikan secara baik-baik di antara pihak-pihak yang bersengketa; dan bila tidak tercapai suatu hasil yang diharapkan maka litigasi atau arbitrase merupakan pilihan kemudian. Akhir-akhir ini, arbitrase telah memperoleh tempat yang selayaknya dalam industri konstruksi di Indonesia. Lahirnya Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberi kepastian hukum pada penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase, walau masih terjadi salah paham, menjadi semakin mantap dikukuhkan. Kontrak konstruksi telah menyertakan klausula arbitrase dalam perjanjiannya, dan banyak sengketa telah diselesaikan diluar pengadilan sebagai suatu konsekuensi adanya pemahaman arbitrase. Studi kasus ini menunjukkan dampak dari pemakaian alasan klausula Perjanjian Lengkap (Complete/Integration/Merger Clause atau Entire Agreement Clause) yang kurang tepat karena tidak menindaklanjuti hal-hal yang dipermasalahkan dalam Berita Acara Rapat Penjelasan. Tesis yang berdasarkan penelitian ex Post Facto ini membahas liku-liku masalah hukum yang mungkin dijumpai oleh suatu badan hukum dalam pelaksanaan suatu jasa konstruksi, mengupas hal-hal yang umum hingga yang khusus dari suatu sengketa, dan menunjukkan jalan keluar pada suatu kebuntuan masalah - lewat suatu penyelesaian sengketa alternatif dan arbitrase yang telah disepakati sebelumnya. Dari penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif ini, asas-asas hukum perjanjian menurut KUH Perdata diterapkan dalam hubungan antara Pengguna Jasa dan Pemberi Jasa. Suatu kontrak/perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1). Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau pra-kontraktual, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum; padahal belum tercapai kesepakatan final yang sempurna antara kedua pihak mengenai isu bisnis yang masih ambigu, yaitu eskalasi harga kontrak yang tidak diatur sebelumnya. Kasus ini memperlihatkan sikap Arbiter pada kajian pemecahan masalah dalam hal-hal yang tidak diatur sebelumnya pada Perjanjian. Dalam pemberian putusan, Arbiter menerapkan ketentuan kaidah hukum material dan bukan berdasarkan keadilan dan kepatutan kepada forum arbitrase sebagai pemutus perkara yang bersifat mandiri, final, dan mengikat. Arbiter menganggap bahwa risalah pra-kontraktual merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian, dan menghukum yang bersalah untuk melunasi pembayaran eskalasi harga. Adagium ”the devil is on the detail” menyiratkan bahwa keberhasilan bisnis secara umumnya terletak pada detil. Suatu peluang tuntutan hukum dalam hal konstruksi terkait dengan adanya asas kehati-hatian dan kecermatan (prudential principles) maupun uji tuntas (due diligence) dalam berbagai persiapan proyek konstruksi, sejak awalnya, seyogyanya diantisipasi oleh Pengguna Jasa maupun Penyedia Jasa.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PUTUSAN ARBITRASE TENTANG PENENTUAN ESKALASI HARGA KONTRAK YANG TIDAK DIATUR SEBELUMNYA Studi Kasus PT AMARTA KARYA (Persero) vs PT CALTEX PACIFIC INDONESIA, Perkara BANI No. 203/XI/ARB-BANI/2004en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record