Show simple item record

dc.contributor.authorMUHAMAD ARIF ROHMAN, 11.912.683
dc.date.accessioned2018-07-20T13:57:22Z
dc.date.available2018-07-20T13:57:22Z
dc.date.issued2013-01-19
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9147
dc.description.abstractPenelitian ini dilatarbelakangi munculnya pro dan kontra terkait kebijakan Kementerian Hukum dan HAM tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Sebagai negara hukum, setiap tindakan pemerintah harus sesuai undang-undang dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan harus diberantas dengan cara yang luar biasa pula, akan tetapi hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar hukum. Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris, dengan mengambil lokasi di Lapas Kelas IIA Yogyakarta dan Lapas Kelas IIB Sleman. Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa masalah, yaitu: pertama, bagaimana pelaksanaan pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi di Wilayah Yogyakarta?. Kedua, kebijakan apa saja yang pernah diberlakukan Kementerian Hukum dan HAM terkait pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana?. Ketiga, apakah kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?. Untuk menjawab masalah tersebut, dilakukan analisa dengan metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa pelaksanaan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana di wilayah Yogyakarta telah berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Khusus untuk narapidana kasus korupsi, pelaksanaan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat di Yogyakarta sedikit banyak terpengaruh dengan adanya moratorium pemberian hak-hak narapidana yang dikeluarkan pemerintah. Kementerian Hukum dan HAM telah banyak mengeluarkan kebijakan terkait pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, Surat Edaran maupun surat Direktur Jenderal. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat jelas melanggar undang-undang. Berbeda ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan „pengetatan‟ pemberian hak-hak narapidana, hal tersebut tidak melanggar undang-undang yang berlaku. Hal ini dikarenakan dalam undang-undang hanya memberikan batasan umum yang memungkinkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan melalui kewenangan diskresi yang dimiliki. Yang menjadi masalah adalah ketika diberlakukannya Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan perihal Moratorium Hak-Hak Narapidana Korupsi dan Terorisme dan dilanjutkan keluarnya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mencabut surat keputusan pembebasan bersyarat beberapa narapidana. Dalam keputusan itulah yang mengandung beberapa pelanggaran, misalnya: bertentangan dengan filosofi sistem pemasyarakatan yang tidak lagi menganut sistem kepenjaraan untuk menimbulkan efek jera (detterent effect) kepada pelaku kejahatan. Kebijakan ini juga dinilai melanggar hak asasi manusia karena cenderung diskriminatif dan tidak sesuai dengan asas equality before the law. Selain itu, kebijakan ini juga melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.en_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titleTINJAUAN YURIDIS PENGETATAN REMISI DAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA KASUS KORUPSI DI WILAYAH YOGYAKARTAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record