Show simple item record

dc.contributor.authorOKI QUDRATULLAH, 11912695
dc.date.accessioned2018-07-20T13:43:12Z
dc.date.available2018-07-20T13:43:12Z
dc.date.issued2012-07-28
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9036
dc.description.abstractPentingnya penelitian dengan topik “Penembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Tanpa Pemidanaan ( Non Conviction Based Forfeiture ) Dalam UU Tindak Pidana Korupsi (31/1999 Jo 20/2001)” didasarkan pada asumsi teoritis bahwa pengaturan mengenai perampasan aset di Indonesia telah tertuang dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 31/1999 jo 20/2001. Dalam substansi perundangan yang diatur tersebut diatur mengenai perampasan aset secara Perdata dan Pidana. Sehingga peraturan ini menjadi justifikasi teori secara yuridis pada aparat penegak hukum dapat dipermudah dalam proses tahapan pengembalian aset kedepannya. Namun demikian pada kenyataannya penerapan pengembalian aset hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan baik sebagai tersangka atau terdakwa yang oleh pengadilan dinyatakan secara bersalah melakukan tindak pidana. Seharusnya dapat juga pengembalian aset dilakukan secara parallel atau berama dengan perkara pidana melalui mekanisme NCB. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Pertama, Bagaimanakah penerapan pengembalian aset yang ada dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana pemberantasan korupsi tanpa pemidanaan dalam UUPTPK 31/1999 Kedua, Bagaimanakah mekanisme pengembalian aset secara perdata mendatang seharusnya agar mudah diterapkan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu data dan fakta yang diteliti dan dikembangkan berdasarkan pada hukum. Metode pendekatan pada penelitian ini mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan dilakukan melalui penelitian kepustakaan. Penggalian data dilakukan dengan wawancara terhadap hakim TIPIKOR di Bangka Belitung , wawancara terhadap Jaksa pidana khusus di Kejaksaan Negeri Yogyakarta, wawancara KPK, wawancara direktur Pukat UGM, wawancara pakar hukum pidana. Hasil penelitian ini menunjukkan, pengembalian aset yang dianut Indonesia saat ini belum benar-benar mengatur prosedur pengembalian aset secara perdata dengan komprehensif. Dalam pembahasan disampaikan pengembalian aset yang diterapkan di Indonesia saat ini masih bergantung kepada prosedur hukum acara pidana sehingga perampasan aset dapat dilakukan jika ada putusan yang inkracht Sehingga dengan demikian sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 dan 3 mengenai unsur kerugian Negara harus membuktikan kebenaranya dalam proses pemeriksaan di pengadilan sesuai proses beracara seperti yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Tidak dapat membuktikan unsur kerugian Negara berimplikasi tidak dapat dirampasnya aset koruptor. Dengan demikian pengaturan mengenai mekanisme secara perdata tidak pernah diterapkan dalam realita penegakan hukum pemberantasan korupsi saat ini. Tidak didukungnya prosedur hukum acara yang komprehensif disinyalir adalah penyebab utama pengaturan perampasan aset dalam UU TIPIKOR secara perdata tidak berfungsi. Sehingga mengakibatkan pola perampasan aset hanya menempatkan mekanisme perdata sebagai Super substitute dari mekanisme pidana, tanpa menjadikannya sebagai alternatif pilihan dalam menyelamatkan aseten_US
dc.publisherUniversitas Islam Indonesiaen_US
dc.titlePENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI TANPA PEMIDANAAN (Non Convinction Based Forfeiture) DALAM UU TINDAK PIDANA KORUPSI (31/1999 jo 20/2001)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record