dc.description.abstract | Penyimpangan dan penodaan agama yang di Indonesia menimbulkan
keresahan dalam kehidupan didalam masyarakat Indonesia, dan akhirnya
penyimpangan, penodaan agama dijadikan delik didalam KUHP dan disebut delik
agama. Didalam perkembangannya delik agama yang ada didalam KUHP
menimbulkan pro dan kontra yang cukup serius didalam masyarakat Indonesia.
Ketika Delik agama dalam KUHP masih terjadi pro dan kontra dalam masyarakat,
Pemerintah Indonesia justru membuat suatu rancangan KUHP baru tentang delik
agama. Atas dasar ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pro dan
kontra delik agama didalam KUHP dan RUU KUHP dengan melihat dari sudut
pemuka agama di Indonesia memandang delik agama yang diatur dalam KUHP dan
rancangan KUHP, Berdasarkan pemahaman ini maka penulisan tesis ini merumuskan
tiga rumusan maslah yaitu: Pertama,Bagaimana persepsi pemuka agama tentang delik
agama dalam KUHP dan RUU KUHP?, Kedua, Bagaimana pengaturan delik agama
dalam hukum pidana positif Indonesia?, ketiga Bagaimana kebijakan hukum pidana
tentang delik agama ?
Dari hasil penelitian ini,, para pemuka agama memiliki presepsi yang
berbeda-beda satu dengan yang lain tentang tentang delik agama dalam KUHP.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan cara pandang mereka mengenai permasalahan
delik agama. agama. Pemuka agama dan tokoh agama yang dijadikan narasumber
dari penulisan ini pun memiliki presepsi yang berbeda tentang delik agama yang
sedang dibahas oleh team perancang pembuat KUHP baru . Pemuka agama dan
tokoh agama ini ada yang setuju akan isi dan pembuatan Rancangan Undang-Undang
Hukum Pidana baru tentang Tindak Pidana terhadap agama dan Kehidupan
beragama namun ada yang tidak setuju akan adanya pembuatan RUU KUHP ini.
Namun ada juga yang setuju akan adanya RUU KUHP namun tidak setuju akan
substansi isi dari RUU KUHP tentang Tindak Pidana terhadap agama
Kebijakan Hukum Pidana tentang delik agama dibagi menjadi dua yakni
dalam hukum positif yakni dalam KUHP pasal 156 a dan UU No 1/PNPS/1965 dan
hukum yang akan datang( ius constetuendum) yakni dalam RUU KUHP. Didalam
KUHP dan UU No 1/PNPS/1965 diperbaharui karena KUHP pasal 156 a dan UU no
1/PNPS/1965 berlandasan filosofis pada hal yang kurang tepat dan keliru dan
akibatnya isi dari KUHP dan Pnps itu pun keliru. Kekeliruan terjadi ketika
memaknai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
selalu diidentikan dengan agama maka oleh karena itu agama harus diberikan
perlindungan dan hal itu merupakan sinkretisme dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dan kurang tepat, hal yang tepat adalah berbicara Ketuhanan Yang Maha Esa maka
diidentikan dengan seluruh ragam kepercayaan yang bersendikan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Delik agama yang ada didalam pasal 156 a KUHP akan mengalami perluasan
sehingga menurut perancang KUHP baru perlu diatur sendiri dalam satu bab dibawah
judul “Tindak Pidana terhadap agama dan Kehidupan beragama” yang tercantum
pada bab VII yang terdiri dari 8 pasal dan 4 ayat. Delik agama dalam konsep
rancangan KUHP pun berlandasan filosofis yang belum tepat sehingga substansi dari
RUU KUHP tentag Tindak Pidana terhadap agama dan kehidupan beragama pun
belum tepat.
Sebagai bentuk kebijakan hukum tentang delik agama dimasa yang akan
datang RUU KUHP ini, hendaknya harus sesuai dengan konsep kebijakan Hukum
Pidana. Apabila belum sesuai dengan konsep kebijakan Hukum Pidana maka proses
merancang KUHP tentang delik pidana tidak boleh diteruskan karena akan terjadi
over criminalisasi (kelebihan perbuatan yang dijadikan tindak pidana) Pada akhirnya
akan menimbulkan inflasi pidana sehingga penghargaan terhadap hukum agama tidak
semestinya lagi.Didalam pemaparan RUU KUHP telah merumuskan begitu banyak
delik terhadap agama dan yang berhubungan dengan agama. Formulasi yang
dihasilkan oleh perancang RUU masih luas.dan bahasa yang digunakan bersifat
subyektif sehingga akibatnya orang akan dengan mudah menuduh, mengejek,
menghasut ,menghina dan sebagainya yang pada akhirnya berbenturan dengan
jaminan konstitusi mengenai kebebasan berpikir, berekspresi dan berkeyakinan. Asas
dan syarat hukum pidana harus digunakan untuk melandasi penegakkan terhadap
pelanggaran delik ini. Dengan menggunakan asas dan syarat hukum pidana ini maka
penegakan akan banyak mengalami hambatan karena pada delik agama, norma
hukumnya cenderung bersifat kabur karena terkait dengan suatu proses penilaian
mengenai sifat, perasaan atas agama, kehidupan beragama dan beribadah yang
sifatnya subyektif. Hambatan yang lain adalah terkait dengan pembuktian unsurunsur
kesalahan. Unsur yang harus dibuktikan dalam delik agama bersifat abstrak
karena berkaitan dengan alam pikiran. Tidak semua orang memiliki presepsi yang
sama tentang nilai-nilai agama karena tergantung pada aliran kegamaan atau
kepercayaan yang diikuti yang bersangkutan. Hambatan penegakan delik agama ini
harus dipikirkan oleh para perancang RUU KUHP, hal ini dikarenakan selain
diperlukan aparat penegak hukum yang profesional, bersih dan berwiabawa, juga
tidak kalah penting adalah peranan saksi ahli yang terdiri dari tokoh-tokoh agama
yang tidak berpihak pada suatu dokrtrin sangat diperlukan dalam rangak
menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan delik agama.
Saran Penulis adalah, Pertama, Meninjau kembali dasar filosofis pembuatan
KUHP dan RUU KUHP tentang delik agama, Kedua, Mengganti kata agama dalam
UU yang ada menjadi semua kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga,
Masalah Delik pidana tidak serta merta harus diselesaikan melalui sarana penal
namun bisa diselesaikan melalui sarana non penal melalui pendidikan,
dakwah,kultural dan dialog., Keempat, Didalam penegakan hukum tentang delik
agama haruslah adil dan tidak tebang pilih. Bila ada yang melakukan perbuatan
kriminal , hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. | en_US |