dc.description.abstract | Organisasi Perguruan Pencak Silat merupakan salah satu alat negara dalam
mempersatukan rakyatnya. Senyatanya di eks Karisidenan Madiun Organisasi
pencak silat justru menciptakan perpecahan dalam masyarakat, karena sering
terjadi kekerasan antar perguruan pencak silat. Konflik dimulai G30S yang
melibatkan Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Tunas Muda
Winongo, dan meningkat melibatkan masa banyak sejak 1990-an. Saat ini konflik
memasuki fase terjebak ( entrapment ) yang menyebabkan kekerasana mudah
meletus dan melibatkan berbagai organisasi pencak silat di eks karisidenan
Madiun utamanya Persaudaraan Setia Hati Terate, Persaudaraan Tunas Muda
Winongo dan Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia Kera Sakti. Permasalahan
yang terjadi adalah negara selama ini belum bisa hadir dalam memberikan
perlindungan sosial terhadap masyarakat dari terlanggarnya rasa aman, damai,
bahagia dan tentram.
Bertolak dari hal diatas, substansi permasalah ada tiga, yaitu faktor penyebab
terjadinya kekerasan secara berulang antar perguruan pencak silat, kebijakan
penal dalam menanggulangi kekerasan secara berulang antar perguruan pencak
silat dan kebijakan non penal yang dapat sekaligus tepat dipergunakan untuk
menanggulangi kekerasan antar perguruan pencak silat di eks Karisidenan
Madiun. Teori dipergunakan dalam mengurai permasalah tersebut dengan
Kriminologi, yaitu untuk permasalahan pertama menggunakan etiologi kriminal,
permasalah kedua penologi, permasalah ketiga dengan non penal.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif analitis
dengan pendekatan yuridis empiris. Yuridis empiris pada prinsipnya hukum
dikonsepsikan secara sosiologis sebagai gejala empiris yang dapat diamati dalam
kehidupan secara empiris yang teramati dalam pengalaman.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis berkesimpulan : Pertama,
faktor penyebab kekerasan antar perguruan pencak silat terbagi menjadi dua :
faktor secara langsung yaitu 1) Fanatisme yang berlebihan; 2) Adanya dominasi
wilayah/kekuasaan perguruan pencak silat dan faktor tidak langsung yaitu 1)
Tingkat pendidikan rendah; 2) Pengangguran; 3) Lemahnya pengawasan orang
tua; 4) Minuman Keras. Kedua Kebijakan penal dalam tahap kepolisan terdapat
kendala yaitu 1) Alat olah TKP masih manual; 2) Alat untuk melacak tersangka
masih manual, belum adanya camera untuk merekam suatu peristiwa, sehingga
kelihatan petugas saja dilakukan lidik; 3) Hp juga banyak disita tetapi dalam
tataran polres tidak bisa menyelidiki lebih lanjut guna mentukan siapa yang
menjadi penganjur atau orang menyuruh melakukan ( pasal 55 KUHP ), kendala
tersebut yang menyebabkan dilakukannya diskresi. Tahap kejaksaan dan
pengadilan tidak ada kendala, karena merupana perkara bisa. Ketiga Kebijakan
non penal yang sudah dilakukan adalah 1) MOU antar perguruan pencak silat di
Eks Karisidenan Madiun; 2) Pembentukan Paguyuban Pencak Silat Setot Prawiro
Dirjo dan Forum Komunikasi Pencak Silat dan Bela Diri. | en_US |