Show simple item record

dc.contributor.authorDAPIQ SYAHAL MANSHUR, 09912447
dc.date.accessioned2018-07-16T11:20:12Z
dc.date.available2018-07-16T11:20:12Z
dc.date.issued2013-01-25
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8688
dc.description.abstractKonflik hak atas tanah antara masyarakat dan Perum Perhutani menjadi penyebab konflik dalam kawasan hutan. Masyarakat merasa bahwa penguasaan tanah yang mereka lakukan pemberian orang tua terdahulu. Di pihak lain Perhutani merasa bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan berdasarkan Berita Acara Tapal Batas Tahun 1940. Upaya penyelesaian dengan jalan tukar menukar tidak menemukan penyelesaian. Persoalan tersebut menunjukan bahwa penguasaan tanah dan penguasaan hutan tidak mendapatkan kepastian. Atas dasar persoalan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dasar hukum masyarakat melakukan penguasaan tanah, mengetahui status tanah pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor 280/Menhut-IV/1998 tentang tukar menukar kawasan hutan. Terakhir tujuan penelitian ini adalah mengetahui hambatan apa yang dialami masyarakat memiliki hak atas tanah. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian yuridis empiris. Hasil dari penelitian ini adalah penguasaan tanah yang dilakukan masyarakat didasarkan atas hasil membuka hutan orang tua mereka, yang kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya. Penguasaan tersebut berlangsung lama sehingga meyakinkan masyarakat bahwa tanah yang mereka kuasai adalah hak milik yang timbul berdasarkan hukum adat. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) kedudukan hukum adat masih dipertahankan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 UUPA. Status tanah pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 280/Menhut-IV/1998 perihal tukar menukar kawasan hutan adalah tanah negara, hal ini didasarkan pada kedudukan hutan Gunung Cibuluh sebagai hutan cadangan. Selain hal tersebut, status sebagai tanah negara diperkuat oleh data yang tercatat di Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, menerangkan sebagian kawasan Gunung Cibuluh merupakan bekas perkebunan berdasarkan Surat Ukur Nomor 75 Tahun 1927 dan Surat Ukur Nomor 76 Tahun 1927. Faktor yang menghambat masyarakat memiliki hak atas tanah adalah adanya konflik kewenangan, hal ini terjadi karena Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan sama-sama memiliki kewenangan mengatur tanah Gunung Cibuluh, selain itu terdapat konflik kepentingan antara masyarakat dan Perum Perhutani, Perum Perhutani memiliki kepentingan untuk melindungi hutan dan peningkatan pendapatan serta kepentingan masyarakat untuk memperoleh manfaat yaitu sumber penghidupan di atas tanah Gunung Cibuluh. Faktor yang lain adalah konflik regulasi antara hukum adat dan hukum positif, pendekatan negara yang tidak memberikan ruang terhadap eksistensi hukum adat menjadikan masyarakat sulit memperoleh hak atas tanah.en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.subjectPenguasaan Tanahen_US
dc.subjectStatus Hak Atas Tanahen_US
dc.subjectKawasan Hutanen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN (Studi Kasus : Konflik Tanah Di Blok Gunung Cibuluh, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Ciamis, Jawa Barat)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record