Show simple item record

dc.contributor.authorM. ARDHI RAZAQ ABQA, 15912088
dc.date.accessioned2018-07-16T11:17:41Z
dc.date.available2018-07-16T11:17:41Z
dc.date.issued2017-10-20
dc.identifier.urihttps://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8679
dc.description.abstractIndonesia merupakan negara yang berdiri dan berkembang di bawah sebuah konstruksi berdasarkan hukum, selain itu Indonesia juga negara demokrasi yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Pemilihan Kepala Daerah merupakan implementasi perwujudan dari nilai-nilai demokrasi yang memberi wewenang besar bagi masyarakat untuk memilih secara langsung pemimpinnya. Setelah era reformasi kontestasi Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang diselenggarakan secara rutin setiap lima tahun sekali selalu dilaksanakan dengan partisipasi lebih dari dua pasangan calon. Ini dapat dipastikan terjadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Tetapi belakangan timbul kontroversi dan kegaduhan politik, karena fenomena adanya beberapa daerah diantaranya Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timur Tengah Utara dalam tahapan Pemilihan Kepala Daerah yang hanya terdapat satu pasangan calon tunggal. Ketiga daerah tersebut awalnya terancam mengalami penundaan, sebagaimana telah dicantumkan dalam pasal 49 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala daerah, menyatakan bahwa “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) menghasilkan pasangan calon tunggal yang telah memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ditunda, hal tersebut tentunya akan berdampak negatif bagi keberlangsungan pesta demokrasi ke depan. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015, yang pada pokoknya menciptakan norma hukum memperbolehkan daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon tunggal tetap dilaksankan dalam tahapan Pemilihan Kepala daerah dengan memilih “Setuju” dan “Tidak Setuju”. Putusan tersebut belum menyelesaikan persoalan secara menyeluruh, mengingat ada indikasi tidak adanya kepastian hukum karena tidak ada batasan aturan yang jelas sampai periode pemilihan apabila ternyata Calon tunggal tersebut suara perolehannya kalah dengan yang tidak setuju. Untuk itu penulis berkesimpulan mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah belum mengakomodir keberadaan calon tunggal, meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan hasil Judicial Review.Harapan ke depan semoga Indonesia dapat menjadi Negara Demokrasi yang berdaulat,kuat dengan aturan hukum perundang-undangan yang tepat, serta terkontrol oleh sistem hukum yang berlaku. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan aturan hukum berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah guna mengakomodir eksistensi calon tunggal.en_US
dc.publisherUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAen_US
dc.subjectCalon Tunggalen_US
dc.subjectPemilihan Kepala Daerahen_US
dc.titleIMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TERHADAP EKSISTENSI CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SERENTAK 2017en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record